AL-QURAN SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM (NAMA: SODIKIN)
AL-QURAN SEBAGAI SUMBER
AJARAN ISLAM
SODIKIN
36
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Email : k085273325517@gmail.com
Website: SUKANGITUNG
Abstrak
Agama islam adalah agama yang sangat
mulia, Al-Qur’an sebagai pedoman hidup sangat berarti bagi orang islam, segala
sesuatu yang kita alami tertera pada kitab Alqur’an, Al-qur’an sebagai tuntunan
dan pedoman bagi kaum muslimin mempunyai fungsi yang sangat besar, seorang
muslim harus senantiasa menggunakan Al-Qur’an sebagai tuntunan selama mereka
hidup di bumi ini, Alqur’an tidak mempunyai keraguan didalamnya, Al-Qur’an
adalah petunjuk bagi manusia khususnya mereka yang beriman, dan “bertaqwa
kepada Allah. Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman manusia sebagai petunjuk
manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat”.
Ilmu pengetahuan dan teknologi pada
zaman modern ini semakin berkembang bahkan berkembang sangat pesat, sedangkan
agama bergerak lambat dan mayoritas budaya islam telah terpengaruh oleh budaya
barat, karena itu tidak terjadi keharmonisan antara agama dan ilmu pengetahuan
serta teknologi. Al-Qur’an memberi pengaruh positif kepada umat islam untuk
mencari dan mendapat pengetahuan dan kebahagiaan yang sesungguhnya yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hingga
pada akhirnya pertemuan kaum muslimin dengan zaman modern ini dapat melahirkan
berbagai aliran pemikiran, seperti aliran salah dengan semboyan kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Islam sendiri merupakan agama yang sangat mulia, islam
memiliki seperangkat ajaran yang terkandung didalamnya berupa ilmu tasawuf atau
keesaan tuhan, sistem keyakinan lain dan ketentuan yang mengatur kehidupan
manusia.
Kata Kunci : AlQur’an, Agama Islam
Abstrak
The religion of Islam is a very noble religion, the Qur'an as a guide to
life is very meaningful to the Islamic people, everything we experience is
written in the book of the Qur'an, the Qur'an as guidance and guidelines for
the Muslims have a very big, a Muslim must always use the Qur'an as a guide as
long as they live on this earth, the Qur'an has no doubt in it, the Qur'an is a
guide for humans especially those who believe, devote to Allah. Al-Qur'an as a
human guide as a guide for humans to achieve happiness in the world and in the
hereafter.
Science and technology in modern times are growing even more rapidly, while religion is slow and the majority of Islamic culture has been influenced by western culture, therefore there’s is no harmony between religion, science, and technology. Al-Qur'an gives a positive influence to Muslims to seek and obtain true knowledge and happiness, namely the happiness of the world and the hereafter. Until finally the meeting of the Muslims with modern times can give birth to a variety of schools of thought, such as the wrong flow with the slogan "back to the Qur'an and Sunnah.
Until finally the meeting of the Muslims with modern times can give birth to a variety of schools of thought, such as the wrong flow with the slogan "back to the Qur'an and Sunnah. Islam itself is a very noble religion, Islam has a set of teachings contained in it in the form of Sufism or oneness of God, other belief systems and provisions that govern all human life.
PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan sumber
pokok ajaran islam sebagai petunjuk bagi manusia, sebagai pedoman hidup manusia
untuk menuju kehidupan sejahtera didunia dan selamat diakhirat.
Rasulullah SAW ketika akan
wafat berwasiat bahwa ia tidak meninggalkan warisan harta, kecuali yang ia
tinggalkan adalah Al-Quran dan As-Sunnah, barang siapa yang berpegang teguh
pada kedua sumber tersebut diatas yaitu Al-qur’an dan AS-sunnah, maka pasti mereka tidak akan sesat untuk
selama-lamanya.
PENGERTIAN ISLAM SECARA ETIMOLOGIS
Kata Islam berasal dari bahasa Arab. Akar katanya s-l-m (س ل م ).
Kata kerja
bentuk pertamanya ialah salima (سلم). Kata kerja
bentuk pertama ini tidak digunakan dalam Al-Qur’an, tetapi ungkapan bahasa
tertentu dari akar kata itu seringkali digunakan. Di antaranya ialah kata silm (سلم)
dalam surat Al-Baqarah ayat 208 yang berarti,salam (سلام)
dalam surat AZ-Zumar ayat 29, sebagai lawan dari
“pemilahan dalam bagian yang bertentangan”, juga dalam surat an-Nisa ayat 91
yang juga digunakan dalam pengertian damai. Dengan demikian kata tersebut dalam
Al-Qur’an sering kali digunakan dengan makna damai, dan aman[1].
Kata kerja bentuk keempat ialah aslama (ا سلم),
artinya ia menyerahkan dirinya Sering digunakan dalam ungkapan aslama
wajhahu yang artinya ia menyerahkan pribadi atau dirinya yang diikuti dengan
lillah karena Allah. Ada berpendapat lain yang menambahkan dengan arti memelihara
dalam keadaan selamat sentosa, tunduk patuh dan taat”. Kata islam merupakan
verbal noun (mashdar; kata benda verbal) dari bentuk keempat ini. Muncul dalam Al-Qur’an
sebanyak enam kali. Dengan pengertian tersebut, kata Islam dekat
dengan arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang,
balasan dan kebiasaan. Dengan itu Nurcholis Madjid menegaskan bahwa sikap
pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat Islam. Sikap ini tidak merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya,
tetapi diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam asli manusia. Dengan
kata lain diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga perwujudannya pada
manusia selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh apalagi dipaksakan dari luar,
karena cara yang demikian menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan
dimensi yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan[2].
Subjek dari aslama ialah muslim (مسلم).
Baik dalam bentuk
tunggal, dua atau
jamak kata muslim
sering muncul dengan
artinya seseorang yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Dalam surat Al-Imran
ayat 83, alam semesta dikatakan sebagai muslim sebab ia mematuhi hukum Tuhan. Menurut
Fazlur Rahman, kata islam dan muslim selalu digunakan oleh Al-Qur’an
kadang dalam makna harfiahnya orang yang menyerahkan dirinya kepada (hukum)
Tuhan, kadang juga dalam makna sebagai nama-diri untuk pesan keagamaan yang
dikumandangkan oleh Al-Qur’an dan bagi komunitas yang menerimanya. Bahkan dalam
surat Al-Hajj/22:78, pesan agama ini diberikan kepada Ibrahim A.S, yang
dikatakan telah memberikan nama Muslim kepada komunitas yang menerima pesan Al-Qur’an.
Maka nyatalah bahwa Islam di masa Madinah, selain bermakna harfiah, telah
direifikasi menjadi nama agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dan muslim
menjadi komunitas formal yang memeluk Islam (QS. 5:111).
Selanjutnya Rahman menjelaskan, bahwa ada dua hal penting untuk
disimak sehubungan dengan istilah islam. Pertama, bahwa islam integral dengan
iman. “Penyerahan” kepada Tuhan, dalam karakteristiknya yang hakiki, adalah
mustahil tanpa iman. Bahkan kedua kata ini pada dasarnya adalah sama dan telah
digunakan secara ekuivalen dalam banyak bagian Al-Qur’an.
Kedua, islam merupakan pengejahwantahan lahiriah, konkret dan
terorganisasi dari iman, melalui suatu komunitas normatif. Karena itu,
anggota-anggota komunitas ini harus didasarkan pada iman dan cahayanya, dan
sebaliknya cahaya iman semacam itu harus
menjelma keluar sendiri melalui komunitas ini. Seseorang mungkin saja mempunyai
iman, tetapi iman tersebut bukanlah iman sejati dan sepenuhnya kecuali jika ia
diekspresikan secara islami dan melalui suatu komunitas yang semestinya, suatu
komuitas yang muslim.
SECARA TERMINOLOGIS
Ada beberapa ulama dan pemikir Islam yang memberikan pengertian Islam
secara terminologis, diantaranya ialah Syaikh Mahmud Syaltut. Ia memberikan
pengertian Islam sebagai agama yang disyariatkan oleh Allah melalui nabi-Nya
Muhammad SAW. untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia.
Harun
Nasution memberikan pengertian Islam sebagai agama yang ajarannya diwahyukan
Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam
pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tatapi
mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama
perdamaian, di mana dua ajaran pokoknya yaitu keesaan Tuhan dan kesatuan atau
persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa Islam selaras benar dengan
namanya. Islam bukan saja sebagai agama seluruh Nabi Allah, melainkan pula
sebagai hakikat ketundukan dan keberserahan diri alam semesta kepada hukum
Tuhan.
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam putusannya memberikan pengertian
agama Islam sebagai apa yang telah disyariatkan Allah dengan perantaraan para
Rasul-Nya berupa perintah, larangan, dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat. Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW
adalah apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan termuat dalam
sunnah shahihah berupa perintah, larangan petunjuk untuk kemaslahatan manusia
di dunia dan akhirat[3].
Di kalangan masyarakat Barat, Islam sering diidentikkan dengan istilah
Muhammadanism dan Muhammedan. Peristilahan ini merupakan bentuk analog dengan
nama agama di luar Islam yang pada umumnya disandarkan pada nama pendirinya. Di
Persia umpamanya ada agama Zoroaster. Selanjutnya terdapat agama Budha yang
dinisbahkan kepada tokoh pendirinya Sidharta Gautama Budha (lahir 560 SM).
Demikian pula agama Yahudi yang disandarkan pada orang yahudi, asal nama dari
negara Yahudi. Agama Kristen yang diberikan kepada Yesus Kristus.
Penyebutan Muhammadanism untuk agama Islam bukan saja tidak tepat,
tetapi secara prinsipil salah. Istilahan itu bisa mengandung arti bahwa Islam
adalah faham Muhammad atau pemujaan terhadap Muhammad seperti yang terdapat
dalam agama Budha atau Kristen. Atau peristilahan itu juga bisa membawa
pengertian bahwa agama Islam hanya untuk bangsa atau komunitas tertentu yang
berkaitan dengan Muhammad, seperti agama Yahudi untuk bani Israel atau bangsa
Yahudi.
Analogi nama dengan agama-agama lainnya jelas tidaklah mungkin bagi
Islam. Karena pertama, agama Islam bersumber dari wahyu yang datang dari Allah
SWT. Bukan dari manusia, bukan pula Muhammad. Posisi Nabi SAW dalam agama Islam
diakui sebagai manusia yang ditugasi untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut
kepada ummat manusia. Dalam proses penyebarannya peranan Nabi terbatas hanya memberi
keterangan, penjelasan, uraian dan contoh prakteknya. Tidak lebih. Kedua, Islam
bersifat universal, rahmatan lil alamin, untuk siapa saja, tidak terbatas
komunitas atau bangsa tertentu seperti agama-agama sebelum Islam, muthabiqun
likulli zaman wa makan, menembus batas ruang dan waktu, sesuai untuk manusia
kapan dan di mana saja[4].
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwasannya Islam,
dilihat dari misi ajarannya berarti semua agama Allah yang diturunkan kepada
para Rasul Allah sejak Nabi Adam A.S sampai Nabi Muhammad SWT. Namun perlu ditegaskan
di sini, bahwa sungguh para Nabi tersebut telah menyatakan diri sebagai muslim
(keberserahan diri secara total kepada Allah), akan tetapi agama yang mereka
bawa itu secara resmi tidak disebut agama Islam. Agama yang dibawa Nabi Isa,
tidak disebut Islam tetapi Nasrani, yaitu nama yang diberikan kepada tempat
kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazaret.
Secara istilah, yang resmi disebut sebagai agama Islam ialah agama
yang diwahyukan berupa Al-Qur’an oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, khotimul
anbiya’ (penutup para Nabi) untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh
manusia sebagai penyempurna misi keislaman yang diajarkan oleh Nabi-Nabi
sebelumnya. Meskipun pada periode Makkah ayat-ayat Al-Qur’an telah menyebut
Islam baik maupun sebagai agama
konkret, namun penyebutan Islam
secara tegas formal sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad ini baru terjadi
pada periode Madinah, atau setelah umat Islam menjadi sebuah komunitas Muslim
di Madinah. Hal ini digunakan untuk membedakan umat Islam dengan orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang telah menyimpang dari ke islaman mereka.
SUMBER AJARAN ISLAM
Pada umumnya, ulama mengajarkan bahwa sumber agama Islam ada empat,
yaitu Qur’an, Sunnah, ‘Ijma (kesepakatan pendapat di antara jama’ah muslimin) dan Qiyas (penggunaan akal). Qur’an dan sunnah
(atau hadits) disebut al-Adillah al-Qoth’iyyah, dalil yang mutlak benar. Sedang ‘ijma dan qiyas disebut al-Adillah
al-Ijtihadiyyah, dalil yang diperoleh dengan jalan ijtihad.
Tetapi karena menurut pengakuan ulama ‘ijma’ dan qiyas itu
didasarkan atas Qur’an dan hadits, sedang hadits itu sendiri merupakan penjelasan
Nabi SAW terhadap Qur’an, maka Qur’an Suci benar-benar merupakan asas hakiki,
yang di atas itu berdiri bangunan Islam, dan merupakan satu-satunya dalil yang
mutlak dan menentukan dalam setiap pembahasan yang berhubungan dengan ajaran
Islam; dan tak salah jika dikatakan bahwa Qur’an adalah satu-satunya sumber
utama yang darinya diambil segala ajaran dan amalan agama Islam.
Di sini akan dibahas tentang sumber utama
ajaran Islam (al-Adillah al-Qath’iyyah). Pertama, Al-Qur’an. Kedua, as-Sunnah,
dan kemudian diakhiri dengan pembahasan tentang ‘ijtihad dalam Islam.
AL-QUR’AN
Pengertian al-Qur’an
Di kalangan ulama ada perbedaan pengertian
etimologis (bahasa) mengenai Al-Qur’an. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak berasal dari
akar kata apapun, dan tidak pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah
lazim digunakan dalam pengertian kalam Allah (firman Tuhan) yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Lain dari itu, banyak juga ulama yang mencoba
mengembalikan lafadz Qur’an pada akar kata tertentu. Al-Farra’ misalnya,
menyebut bahwa lafadz Qur’an berasal dari kata qara’in, jamak dari kata qarinah, karena dilihat dari segi makna dan
kandungannya ayat-ayat Al-Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan.
Selanjutnya al-Asy’ari
dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz itu diambil dari akar kata qarn yang berarti, karena
surah-surah dan
ayat-ayat Al-Qur’an satu dan lainnya saling berkaitan[5].
Sementara itu ada juga yang menyebut Qur’an
sebagai isim masdar (verbal noun) dari akar qara’a, yang makna aslinya
ialah mengumpulkan dan menghimpun. Kata ini berarti pula membaca, karena dalam membaca, huru dan kata-kata dihubungkan satu sama lain menjadi susunan
kalimat. Sehingga qur’an sering kali disamakan dengan qira’at (penamaan maf’ul dengan masdar), yang berarti bacan, yakni
himpunan huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapi20.
Senada dengan uraian di atas Farid Esack,
seorang Doktor di bidang Tafsir Al-Qur’an Universitas Western Cape-Afrika
Selatan, menyimpulkan bahwa secara harfiah al-Qur’an berarti bacaan, pengucapan
atau kumpulan. Ada baiknya kita ikuti uraian Esack:
“Mayoritas pemikir Arab
sepakat bahwa kata Qur’an adalah bentuk lampau yang berasal dari akar kata Arab
qara’a yang berarti ia membaca, atau kata sifat dari qarana, ia menghimpun atau
mengumpulkan. Di dalam al-Qur’an sendiri, kata Qur’an dipakai dalam arti
membaca (QS. Al-Isra’ (17):93),
mengucap (Al-Qiyamah (75): 18), dan sebuah
kumpulan (QS. Al Qiyamah
(75): 17)…”21
Adapun pengertian Al-Qur’an dari segi istilah, Abd al-Wahhab
al-khallaf menjelaskan bahwa, ia merupakan firman Allah yang diturunkan kepada
hati Rosulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui Jibril dengan menggunakan
lafadz bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul,
bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi
petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan
ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushhaf, dimulai dari
surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, disampaikan kepada kita
secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan
serta terjaga dari perubahan dan pergantian[6].
PEWAHYUAN AL-QUR’AN
Dari pengertian di atas, tampak bahwa dalam paham dan keyakinan umat
Islam, Al-Qur’an sebagai Kitab Suci, mengandung sabda Tuhan (kalam Allah), yang
melalui wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammada SAW. Dalam Al-Qur’an dijelaskan
wahyu ada tiga macam. Seperti yang tertera dalam QS. Asy-Syura [42]:51:
“Tidaklah dapat terjadi pada manusia bahwa Tuhan
berbicara dengannya kecuali melalui
wahyu, atau dari belakang tabir, ataupun melalui utusan yang dikirim; maka
disampaikanlah kepadanya dengan sizin Tuhan apa yang dikehendakinya.
Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Demikianlah Kami kirimkan kepadamu ruh atas perintah kami”.
Wahyu dalam bentuk pertama adalah pengertian atau pengetahuan yang
tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya; timbul dengan tiba-tiba
sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Maulana Muhammad Ali menyebutnya
dengan makna aslinya sebagai al-‘Isyarat as-sari’ah, isyarat yang cepat
yang dimasukkan dalam kalbu seseorang. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan
penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, rukyat atau kasyf
(vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau
malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk
kata-kata.
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammada SAW adalah wahyu dalam
bentuk ketiga seperti yang dijelaskan oleh Al-Qur’an: “Sesungguhnya ini adalah wahyu Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh
ruh setia ke dalam hatimu agar engkau
dapat memberi ingat dalam bahasa Arab yang jelas” (QS. Asy-Syu’ara` [26]: 192-193)
Selanjutnya: “Katakanlah, ruh suci membawakannya turun
dengan kebenaran dari Tuhanmu, untuk meneguhkan (hati) orang yang
percaya dan untuk menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi yang berserah diri” (QS. An-Nahl [16]:102)
Bahwa yang dimaksud dengan ruh setia atau ruh
suci adalah Jibril:
“Katakanlah siapa yang menjadi musuh Jibril,
maka ialah yang sebenarnya membawanya turun ke dalam hatimu dengan seizin
Tuhan untuk membenarkan apa yang (datang) sebelumnya dan untuk menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang-orang yang percaya” (QS.
Al-Baqarah [2]: 97)
Hadits-hadits juga menjelaskan bahwa wahyu yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad adalah
melalui Jibril. Dalam suatu hadits Aisyah mengemukakan bagaimana
Jibril merangkul Nabi hingga beliau merasa kesakitan ketika menerima wahyu yang
pertama.
Dalam hadits lain sewaktu ditanya, bagaimana caranya wahyu turun
kepada Nabi, Nabi Muhammad menerangkan: “Wahyu itu terkadang turun sebagai
suara lonceng dan inilah yang terberat bagiku. Kemudian ia (Jibril) pergi dan
aku pun sudah mengingat apa yang dituturkannya. Terkadang malaikat itu datang
dalam bentuk manusia, berbicara kepadaku dan akupun mengingat apa yang
dikatakannya”.
Hadits lain lagi, yang berasal dari Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa pada
bulan-bulan Ramadlan, Jibril selalu turun mendengar dan memperbaiki bacaan Nabi
mengenai ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Atas dasar ayat-ayat dan
hadits-hadits serupa inilah maka umat Islam mempunyai keyakinan bahwa apa yang
terkandung Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan. Farid Esack menjelaskan, bahwa sebagai
kompilasi Firman Tuhan, Al-Qur’an tidak merujuk pada sebuah kitab yang diilhami
atau dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis di bawah bimbingan ruh-Nya. Ia lebih
dianggap sebagai kata-kata langsung Tuhan. Dengan kata lain, teks Arab yang ada
dalam Kitab Suci itu tidak diakui sebagai wahyu, apalagi terjemahannya dalam
bahasa asing.
Wahyu dalam bentuk kata-kata itu diturunkan oleh Jibril untuk
disampaikan kepada Nabi tidak secara sekaligus tetapi berangsur-angsur dan
bertahap dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari 26 atau biasanya
digenapkan menjadi 23 tahun sesuai dengan perdebatan tentang masa tinggal Nabi
di Makkah setelah kenabian (an-Nubuwwah). Hikmahnya ialah seperti yang tersirat
dalam Al-Qur’an surat al-Furqan [25] ayat 32: “Berkatalah orang-orang yang
kafir: ”Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali saja?”;
demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya
kelompok demi kelompok” Yang pertama ialah, untuk meneguhkan hati Nabi SAW.
Dengan turunnya wahyu dalam setiap peristiwa, maka hal itu merupakan komunikasi
langsung dan intens yang menguatkan hati dan memberikan perhatian yang lebih
kepada Nabi. Jibril akan turun berkali-kali kepadanya sehingga menimbulkan
kegembiraan di hatinya.
Kedua, untuk memudahkan pembacaan dan penghafalannya (penjagaannya) serta
penerimaannya dalam konteks pentahapan hukum yang terdapat di dalamnya. Berbeda
jika diturunkan secara sekaligus, selain akan menyulitkan dalam menghafal juga
akan menyulitkan banyak orang karena banyaknya kewajiban dan larangan di
dalamnya[7].
Ketiga, dari hadits-hadits Nabawi dapat diketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan
sesuai kebutuhan. Kadang-kadang diturunkan lima ayat atau kadang-kadang sepuluh
ayat, kurang sedikit dari itu atau lebih. Hal ini mempunyai implikasi pada “revolusi budaya” yang kontekstual-komprehensif
(rahmatan lil ‘alamin) bagi umat Nabi. Untuk lebih jelasnya kita ikuti dulu
sejarah kodifikasi (pembukuan) Al-Qur’ansejak masa Nabi SAW.
SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN
1.
Masa
Rasulullah SAW
Yang dilakukan Nabi pada saat itu setiap wahyu turun ialah
menyampaikan kepada para sahabat untuk dihafal dan dicatat. Zaid bin Tsabit
adalah sekretris utama dalam mencatat tulisan dalam ayat-ayat yang diturunkan
itu. Selain dari sekretaris ini disebut juga nama sahabat-sahabat lain yang
disuruh mencatat, seperti Abu Bakar, Utsman, Umar, Ali, Zubair Ibnu Awam, Abdullah Ibnu Sa’ad dan Ubay Ibnu Ka’ab. Ayat-ayat itu ditulis di atas batu, tulang,
pelepah kurma dan lain-lain.
Jadi, pada masa Rasulullah ayat-ayat Al-Qur’an sudah ditulis secara
keseluruhan, tetapi belum dihimpun di dalam satu Mushhaf seperti sekarang ini,
karena masih menunggu adanya penghapusan sebagian hukum dan tilawahnya.
Sebenarnya sejak masa Rasulullah, secara lisan Al-Qur’an sudah terhimpun atas
petunjuk Jibril dalam kuatnya ingatan penghafal-penghafal profesional di
kalangan sahabat, dan senantiasa terjaga dalam bacaan shalat.
2.
Masa Abu
Bakar ash-Shiddiq.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa penghafal-penghafal ini besar peranannya
dalam sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk mushhaf seperti yang
kita kenal sekarang. Kodifikasi ayat-ayat dalam bentuk buku ini, terjadi
setelah banyaknya sahabat-sahabat yang menghafal Qur’an gugur dalam peperangan
yang timbul pada zaman Abu Bakar. Tepatnya pada perang Yamamah. Dengan gugurnya
penghafal-penghafal Qur’an dikhawatirkan ayat-ayat Al-Qur’an akan ikut hilang.
Maka atas anjuran Umar, Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit dan
sahabat-sahabat lain untuk mengumpulkan ayat-ayat yang ditulis di atas batu, tulang,
pelepah kurma dan dihafal oleh sahabat-sahabat itu untuk disusun dalam bentuk
mushhaf sesuai dengan susunan bacaan lisan yang sudah lazim pada zaman Nabi
SAW. Mushaf ini menjadi naskah standar sampai pada akhir masa Umar sebagai
khalifah kedua, yang pemeliharaannya diserahkan kepada Hafshah, putri Umar.
3.
Masa Usman bin Affan.
Mushhaf yang ada pada Hafshah, kemudian oleh Utsman bin Affan, khalifah ketiga (644-655), ditulis kembali dan
diperbanyak eksemplarnya, kemudian dikirimkan ke daerah-daerah untuk menjadi
pegangan tertulis bagi umat Islam yang ada di sana[8]. Dalam penulisan ini sangat diperhatikan
sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Utsman memberikan tanggung jawab
penulisan ini kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan
Abdur Rahman bin al-Harits bin Hisyam. Mushhaf
tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Dari teks Utsman inilah salinan-salinan selanjutnya ditulis dan dicetak. Sehingga kita mengenal mushhaf kita sekarang ini sebagai mushhaf ala rasm Utsmani.
4.
Pemberian
titik dan baris, terdiri dari tiga fase:
a)
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
menugaskan Abu al-Aswad
ad-Dualy untuk meletakkan tanda bacaan (I’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk
menghindari kesalahan dalam membaca.
b)
Abdul Malik
bin Marwan menugaskan Al-Hajaj bin Yusuf yang dibantu oleh Nashr ‘Aslim dan Hay
bin Ya’mar, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan
huruf lainnya (Ba’ dengan satu titik di bawah; Ta’ dengan dua titik di atas;
Tsa’ dengan tiga titik di atas dll.)
c)
Peletakan
baris atau tanda baca (I’rab) seperti dhomah, fathah, kasrah dan sukun
mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad
al-Farahidy.
Berdasarkan atas sejarah kodifikasi yang jelas ini, umat Islam
berkeyakinan bahwa teks Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini betul sesuai
dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Keorisinilan Al-Qur’an dari
Nabi Muhammad ini juga diakui oleh para orientalis. Nicholson dalam A Literary
History of Arab (1961)
umpamanya mengatakan: “keasliannya tidak diragukan” H.A.R. Gibb dalam Muhammedanism menulis: “Sangat bisa diterima bahwa bentuk dan
isi ucapan-ucapan yang asli sangat terjaga”.
Jelaslah sudah bahwa teks Al-Qur’an adalah asli dari Tuhan. Wahyu yang
Nabi terima dari Tuhan melalui Jibril dalam bentuk kata-kata yang didengar dan
dihafal, bukan dalam bentuk pengetahuan yang dirasakan dalam hati atau yang
dialami, bukan pula yang dilihat dalam keadaan tidak sadar (trance).
NAMA, SIFAT DAN FUNGSI AL-QUR’AN
Sungguh tepat penamaan Al-Qur’an oleh Allah sendiri, yang secara
harfiah berarti “bacaan sempurna”, karena tiada satu
bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an.
Selain sebutan Al-Qur’an (QS. al-Isra’ [17]: 9), dalam berbagai ayatnya, Al-Qur’an
juga menyebut dirinya dengan al-, al-Kitab (QS. al-Anbiya` [21]: 10), al-Furqan
(QS. Al-Furqan [25]:1), al-Dzikr (QS. Al-Hijr [15]: 9) dan at-Tanzil (QS. Al-Syu‟ara’ [26]: 192). Yang paling populer di antara
sebutan itu ialah al-Qur’an dan al-Kitab.
Sedangkan mengenai sifatnya, Al-Qur’an menyebut beberapa sifat
diantaranya adalah an-Nur, cahaya (QS. An-Nisa’ [4]:174); al-Huda, petunjuk; asy-
Syifa’, obat; ar-Rohmah, rahmat; al-Mau’idzoh, nasehat (QS. Yunus
[10]: 57); al-Mubin, yang menerangkan (QS. Al-Maidah [5]:15); al-Mubarak, yang
diberkati (QS. Al-‘An’am [6]:92); al-Busyro, kabar gembira (QS.
Al-Baqarah [2]:97); al-Aziz, yang mulia (QS. Fushshilat [41]:41); al-Majid,
yang dihormati (QS. Al-Buruj [85]: 21); al-Basyir, pembawa kabar gembira;
an-Nadzir, pembawa peringatan (QS. Fushshilat [41]:3-4)[9]. Dari
nama dan sifat-sifat di atas, sebenarnya secara global dapat diketahui apa
fungsi al-Qur’an itu sendiri.
Di antaranya ialah, pertama, untuk menjadi hujjah atau bukti yang kuat
atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar baginya.
Keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik, dan
pemasyarakatannya dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Allah sendiri yang akan menjaganya (QS. Al-Hijr [15]:9).
Kedua, sebagai petunjuk bagi manusia. Yakni sebagai konfirmasi yang
memperkuat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang
tidak dapat diketahui oleh akal. Hanya orang-orang bertaqwalah yang sesungguhnya
mendapatkan petunjuk Al-Qur’an ini. Karena fungsi Al-Qur’an sebagai sarana
mencapai kebaikan di dunia dan akherat terpenuhi. Sedangkan bagi orang yang
tidak bertaqwa, Al-Qur’an hanya bisa dipakai sebagai sarana untuk mencapai
kebaikan di dunia semata.
Ketiga, sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan
manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam
segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada Al-Qur’an. Selanjutnya Al-Qur’an berfungsi
sebagai pengontrol dan pengoreksi terhadap perjalanan hidup manusia di masa
lalu. Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh Bani Israil terhadap ayat-yat
Allah umpamanya dikoreksi.
Keempat, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Di sini Al-Qur’an
menjelaskan mengenai janji Allah tentang balasan baik bagi orang-orang yang
mentaati perintah-Nya dan menjelaskan peringatan Allah tentang hikuman bagi
mereka yang melanggar dan mengingkari-Nya.
Kelima, sebagai syifa’an, obat penawar. Di sini bisa diartikan dalam
dua versi, yaitu sebagai penyembuh penyakit batin dan penyembuh penyakit fisik.
Penyakit batin seperti kesombongan, kerakusan, kemalasan, dengki, iri dan
sebagainya. Sedangkan mengenai penyakit fisik, seperti yang tersirat dalam
surat an-Nahl ayat 69, di situ dijelaskan tentang lebah dengan madunya. Dari
ayat itu tentu Al-Qur’an mendorong manusia untuk menyingkap misteri obat apa
yang terdapat di dalamnya. Sedikit uraian di atas, mungkin bisa menjelaskan
tentang fungsi Al-Qur’an yang paling populer di yakini umat Islam. Yakni,
sebagai rahmatan lil-alamin, rahmat bagi sekalian alam. Di sini Al-Qur’an sebagaimana
Islam menjadi bersifat universal. Muthabiqun likulli zaman wa makan, sesuai
kapan dan di manapun.
KANDUNGAN AL-QUR’AN
Wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam dua periode: periode Makkah
yang lamanya kira-kira 13 tahun dan periode Madinah yang lamanya kira-kira 10
tahun. Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah merupakan bagian terbanyak, dan yang
diturunkan di Madinah kira-kira sepertiga dari keseluruhan ayat yang terkandung
dalam Al-Qur’an.
Kedua periode tersebut mempunyai ciri masing-masing. Pada periode
Makkah, di mana agama Islam baru didirikan dan dinyatakan, ayat-ayat yang
diturunkan banyak mengandung keterangan-keterangan tentang dasar Islam, seperti
keesaan Tuhan, pengiriman rasul-rasul, adanya kitab-kitab suci, adanya kelak
hari perhitungan dan pembalasan sesudah hidup duniawi, adanya surga dan neraka.
Juga ajaran-ajaran lain, seperti sikap terhadap agama-agama lain, tanda-tanda
tentang adanya Tuhan, ancaman bagi orang yang tidak mau percaya, teladan dari
sejarah-sejarah umat terdahulu yang tidak patuh terhadap ajaran-ajaran sebelum
Nabi Muhammad, cara mengabdi pada Tuhan, budi pekerti luhur dan lain-lain.
Sedangkan pada periode Madinah di mana umat Islam telah berkembang
menjadi umat yang kuat dan mempunyai negara yang disegani oleh suku-suku bangsa
Arab lainnya, bahkan kota Makkah yang mengusir Nabi Muhammad akhirnya jatuh ke
dalam kekuasaan Madinah ayat-ayat yang diturunkan mempunyai corak yang lain
sekali dari ayat-ayat yang turun di Makkah. Ayat-ayat pada periode ini telah
mencakup soal-soal hidup kemasyarakatan dan kenegaraan, seperti soal hukum yang
mengatur hidup kekeluargaan (perkawinan, perceraian, hak waris, dan
sebagainya), hubungan dagang dalam masyarakat, pengadilan, hubungan orang
Muslim dengan non-Muslim, hubungan antara orang kaya dengan orang miskin dan
sebagainya. Di samping soal-soal hukum ini, ayat-ayat periode Madinah juga
mencakup polemik yang terjadi dengan kaum Yahudi, hubungan dengan suku-suku
Arab Badui dan penjelasan lebih lanjut tentang soal-soal yang telah disinggung
pada periode Makkah39. Dengan demikian dapatlah ayat-ayat Al-Qur’an dibagi ke
dalam bagian-bagian besar berikut:
1.
Ayat-ayat
mengenai dasar-dasar keyakinan atau kredo dalam Islam yang dari situ lahir
teologi Islam.
2.
Ayat-ayat
mengenai soal hukum yang melahirkan ilmu hukum Islam (fiqih).
3.
Ayat-ayat
mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa keentuan-ketentuan tentang
ibadah dalam Isalam.
4.
Ayat-ayat
mengenai budi pekerti luhur yang melahirkan etika Islam.
5.
Ayat-ayat
mengenai dekat dan rapatnya hubuingan manusia dengan Tuhan yang kemudian
melahirkan mistisme dalam Islam.
6.
Ayat-ayat
mengenai tanda-tanda alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang membicarakan soal
kejadian alam di sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan
pemikiran filosofis dalam Islam.
7.
Ayat-ayat
mengenai hubungan golongan kaya dengan golongan miskin, dan ini membawa pada
ajaran-ajaran sosiologis dalam Islam.
8.
Ayat-ayat
yang ada hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabi-nabi dan umat mereka
sebelum Nabi Muhammad SAW, dan umat-umat lainnya yang hancur karena keangkuhan
mereka. Dari ayat-ayat ini dapat diambil pelajaran.
9.
Ayat-yat
mengenai hal-hal lainnya.
Dari pembagian di atas, menurut Harun Nasution, dapat dilihat betapa kurang
benarnya anggapan bahwa Al-Qur’an mengandung segala-galanya. Yang berkaitan
dengan hukum, misalnya, hanya terdapat 230 ayat saja dari seluruh ayat Al-Qur’an.
Tentu jumlah ini tidaklah cukup untuk mengatur hidup kemasyarakatan yang
kompleks ini. Dalam soal ibadah hanya terdapat kira-kira 140 ayat. Sudah barang
tentu jumlah ini tidak dapat menjelaskan segala hal yang bersangkutan dengan
ibadah. Umpamanya masalah shalat, tidak dengan jelas dan tegas disebut dalam Qur’an
harus dilaksanakan lima kali sehari, dan tidak pula disebut rakaat, waktu,
bacaan, dan lain-lain. Demikian juga denga soal ibadah lainnya. Perincian
mengenai shalat, puasa, zakat dan lain-lain, diketahui bukan dari Al-Qur’an tetapi
dari hadits. Demikian juga dalam soal keimanan, umpamanya mengenai ucapan dua
kalimat syahadat, tidak disebut dengan jelas dan tegas dalam Al-Qur’an. Tapi
dijelaskan oleh hadits.
Kalau dalam hal-hal yang dasar serupa dengan ini saja tidak semua
dijelaskan dalam Al-Qur’an, apalagi dalam persoalan yang bukan dasar, yang
tidak ada huibungannya dengan keimanan, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, ideologi-ideologi seperti sosialisme, sistem-sistem pemerintahan
seperti demokrasi dan lain-lain. Pandangan bahwa al-Qur’an mengandung
segala-galanya sehingga apa saja yang terjadi di sekeliling kita dicari dan dicocok-cocokkan
dengan ayat Qur’an, timbul akibat dari salah interpretasi terhadap ayat-ayat
seperti berikut ini:
“… Dan Kami turunkan kitab ini padamu untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar genbira bagi orang-orang yang berserah
diri”
(QS. An-Nahl [16]: 89)
Menurut banyak ulama tafsir, di antaranya Al-Zamakhsyari, yang
dimaksud dengan “segala sesuatu”
pada ayat di atas bukanlah berarti segala apa saja, tetapi segala sesuatu mengenai agama Islam, terutama tentang
apa yang haram dan yang halal. Rasyid Ridlo menerangkan bahwa paham yang
demikian (segala sesuatu terdapat dalam Qur’an) tidak pernah dianut para sahabat, tabi’in dan ulama klasik, karena pendapat yang serupa iu tidak dapat diterima
akal yang waras.
Al-Qur’an sebenarnya bukanlah ensiklopedia yang memuat apa saja yang
kita cari. Ia seperti dapat dilihat pada kandungannya merupakan buku agama yang
dikirimkan Tuhan kepada masyarakat manusia untuk menjadi petunjuk (hudan) bagi
mereka di dunia dan akhirat. Kalau disebut di dalamnya hal-hal yang ada
hubungannya dengan fenomena alam, sejarah dan lain-lain, itu hanya sekilas
sebagai argumen yang harus dipikirkan dan teladan yang harus dipahami oleh
manusia.
UPAYA MEMAHAMI AL-QUR’AN
Dalam
usaha memahami Al-Quran, ulama-ulama Islam baik dalam bidang teologi dan hukum,
maupun tasawuf dan filsafat- membagi umat Islam ke dalam dua golongan besar,
yakni awam dan khawas (intelejensia). Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, kaum
awam memahami misi Al-Qur’an sesuai dengan tigkatan kecerdasan yang ada pada
mereka, sedang kaum khawas memahaminya menurut pengetahuan dan ketajaman akal
yang mereka miliki. Kaum sufi dan filosof mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an mengandung
dua arti: arti lahir (tersurat) dan arti batin (tersirat; ). Kaum khawas
mencari arti tersirat sedangkan kaum awam menerima arti yang tersurat.
Surga
umpamanya, oleh ayat-ayat Qur’an digambarkan mempunyai bentuk jasmani. Yaitu
tempat yang di dalamnya terdapat makanan yang lezat, bidadari yang cantik,
perhiasan yang indah dan sebagainya. Bagi kaum awam, surga adalah seperti apa
yang tersurat itu. Bagi kaum sufi dan filosof, tidaklah demikian. Bagi mereka
kesenangan jasmani tidak ada artinya. Mereka lebih mengutamakan kesenangan
intelektual dan ruhaniah (batiniah), sehingga surga bagi mereka adalah seperti
yang terkandung dalam makna tersiratnya, yakni kesenangan batiniah yang
terletak di balik kesenangan mahligai, makanan, bidadari, dan perhiasan yang
digambarkan tersebut.
Dalam
konteks inilah, kandungan Al-Qur’an seharusnya dipahami, bahwa teks Arab dari Al-Qur’an
dan bukan isi teks itu yang merupakan wahyu, yang dimungkinkan mempunyai
interpretasi lebih dari satu. Apalagi bila diingat bahwa, Al-Qur’an bukanlah
buku ensiklopedi yang memuat apa saja secara terperinci. Sehingga diperlukan
adanya penafsiran termasuk di dalamnya adalah penterjemahan. Sebenarnya kata
“terjemahan” bersifat problematik. Karena tidak mungkin manusia yang nisbi
(serba relatif) mampu menterjemahkan firman Tuhan yang Muthlak. Maka istilah
terjemahan itu tak lain adalah merupakan interpretasi (penafsiran) sang
penterjemah terhadap kandungan Al-Qur’an.
Terjemahan
dapat dipakai untuk memahami isi Al-Qur’an secara umum saja, yakni tidak begitu
mendalam. Artinya untuk dipakai sebagai pedoman hidup secara umum terjemahan
bisa dianggap memadai. Tetapi untuk memperoleh pengertian dan dan pemahaman
yang mendalam, apalagi untuk mengambil ketentuan hukum dan dasar-dasar (norma)
keimanan, orang harus pergi ke teks aslinya dalam bahasa Arab. Ini dasarkan
pada pertimbangan bahwa:
1.
Bahasa Arab mempunyai susunan
kata dan tata bahasa sendiri yang banyak berbeda dengan susunan kata dan tata
bahasa dari bahasa-bahasa lainnya.
2.
Ayat-ayat Al-Qur’an
diturunkan dalam gaya ringkas tanpa banyak keterangan apalagi rincian, dan oleh
sebab itu muncul interpretasi-interpretasi yang berlainan.
3.
Dalam
linguistik, diakui bahwa kata terjemahan tidak memberi arti yang identik dengan
arti yang dikandung dalam bahasa aslinya. Tiap bahasa menggambarkan filsafat,
pandangan hidup dan tradisinya sendiri.
Oleh sebab itu, terjemahan tidak memberikan arti yang sebenarnya dari
kandungan Al-Qur’an seperti yang terdapat dalam bahasa aslinya. Terjemahan
hanya memberikan salah satu alternatif dari interpretasi-interpretasi (penafsiran)
itu41. Usaha memahami Al-Qur’an sebagai sumber norma dan hukum Islam melalui
penafsiran sebenarnya telah lama dimulai. Quraish Shihab mencatat sejak masa Rasulullah, Sahabat dan permulaan Tabi‟in sebagai periode
pertama. Pada periode ini tafsir
belum dalam bentuk tertulis. Tetapi masih tersebar dalam secara lisan.
Periode kedua, bermula dari kodifikasi hadits, tepatnya pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz (99-101 H) dari Daulah Umawiyah. Pada periode ini penulisan tafsir masih tergabung dengan penulisan hadits. Metodologinya
masih menggunakan metode bi al-Ma’tsur (periwayatan).
Periode
ketiga, tafsir Qur’an sudah ditulis (terkodifiksikan) dalam kitab-kitab tafsir
secara khusus dan berdiri sendiri. Ini dimulai dengan Al-Farra‟ (207H) yang menulis kitab tafsir, Ma’ani Al-Qur’an[10]. Kegiatan menafsirkan Al-Qur’an ini mengambil
metodologi yang senantiasa terus berkembang. Pertama, Tafsir bi al-Ma’tsur (periwayatan). Dalam menafsirkan Al-Qur’an
biasanya tafsir ini mengembalikan dan menggabungkan tiga sumber penafsiran, yakni
Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in, yang
disebarkan melalui jalan periwayatan dan kebahasaan.
Kedua, Tafsir bi ar-Ra`yi (penalaran). Dalam tafsir ini dikenal ada 4
corak metode:
1.
Metode Tahlily. Di sini Al-Qur’an ditafsirkan dari segala segi
(kosakata, asbab an-Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), munasabat al-Ayat wa
as-Suwar (keterkaitan atau hubungan antar ayat dan antar surat dan lain-lain)
dengan memperhatikan runtutan ayatnya sebagaimana dalam mushhaf.
2.
Metode Ijmaly.
3.
Metode Muqaran (perbandingan).
4.
Metode Maudlu’i (tematik). Di sini
ayat-ayat dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan (topik) tertentu
dihimpun, kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh43.
5.
Sedangkan corak penafsirannya, dikenal ada banyak sekali. Diantaranya
adalah: 1. Corak sastra-bahasa. Tafsir ini lebih menekankan pada keistimewaan
dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an dalam bidang kesusasteraan dan
kebahasaan; 2. Corak filsafat dan teologi. Sebagai akibat dari terjemahan
kitab-kitab filsafat dan masuknya penganut agama lain; 3. Corak penafsiran
ilmiah; 4. Corak fiqih atau hukum; 5. Corak tashawuf atau mistisme Islam; 6.
Corak sastra-budaya kemasyarakatan. Lebih menekankan pada petunjuk-petujuk
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta
untuk menanggulanginya berdasarkan petunjuk-petunjuk itu dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan indah didengar.
SUMBER NILAI
ISLAM
Islam
sebagai agama samawi yang dijamin akan menyelamatkan ummat manusia yang
beragamakan islam (muslim) dan melaksanakan (mengamalkan) ajarannya. Sebagai
agama samawi yakni agama yang berasalkan dari Rabbani, maka sebaagai sumbernya
berasal dari Rabbani itu merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Sebagai
ilustrasi penulis kemukakan sebuah dialog antara Rosulullah SAW sebgai kepala
negara sekaligus sebagai Rosul, dengan Mu’adz bin jabal ketiaka Mu’adz akan
berangkat posnya sebagai gubernur di Yaman, sebagai berikut :
Nabi :
dengan apakah engkau melaksanakan hukum ?
Mu’adz : dengan kitab Allah (Al-Quran) !
Nabi :
kalau engkau tidak mendapatkannya disana ?
Mu’adz : dengan sunnah Rasul !
Nabi :
kalau engkau tidak mendapatinya disana ?
Mu’adz : berijtihad dengan akal saya, dan
saya tidak akan putus asa !
Nabi :
segala puji bagi allah yang telah berkenan memberi petunjuk kepada utusan
Rasul-Nya yang direstui-Nya. (Sunah Abu Daud, 23:11)
Dengan demikian norma dan
nilai dalam islam adalah :
1. Sumber
pokok
a.
Al-Quran
b.
As-Sunnah
2. Sumber
tambahan I’jtihad
AL-QURAN SEBAGAI AJARAN ISLAM YANG PERTAMA
Secara etimologi Al-Quran berasal
dari kata qara’a yaqra’u, qiraa’aan, atau Qur’an yang berarti mengumpulkan
(al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara termilogi (syariat),
alquran adalah kalam allah ta’ala yang diturunkan kepada rasul dan penutup para
nabi-Nya, muhammad SAW diawali dengan surat Al-fatihah dan diakhir dengan surat An-nas. Dan menurut
para ulama klasik, Al-quran sumber agama (juga ajaran) islam pertama dan utama
yang memuat firman-firman (wahyu) allah, sama benar dengan disampaikan oleh
malaikat jibril kepada nabi muhammad SAW sebagai rosul allah sedikit demi
sedikit demi seidkit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di mekah
kemudian dimadinah.
AL-QURAN SEBAGAI WAHYU
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran
yang berisi tentang alam semesta yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Quran
adalah wahyu Allah SWT, bukan karya manusia
1.
Tentang awal kejadian langit dan bumi. Di dalam QS.
21 : 30 Allah menegaskan : “ apakah orang-orang kafir tidak mengetahui,
sesungguhnya langit dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian
kami lontarkan. Dan kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka
tidak mau beriman “.
- Tentang pergerakan gunung dan lempengan
bumi. QS 27:88 :”Dan kamu melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam.
Tidak gunung itu bergerak sebagaimana geraknya awan”.
- QS. 12:4 :“Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku
ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam
ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu ada sebelas. Padahal
para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet. Siapa yang
benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari dan
menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini
para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
PENGKODIFIKASIAN
AL-QUR’AN
Al-Qur’an diturunkan dalam jangka waktu 23 tahun, tepatnya 22 tahun, 2
bulan 22 hari, 13 tahun di Mekah, dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah, sebelum hijrah, dinamakan ayat Makiyah, dan yang
diturunkan di Madinah disebut ayat Madaniyah. Ayat Makiyah pada umumnya
pendek-pendek, dan ayat Madaniyah panjang-panjang. Yang diturunkan di Madinah,
ada sebanyak 11/30 (1.456 ayat), sedangkan ayat Makiyah merupakan sebanyak
19/30 dari isi Al-Qur’an (4.780
ayat). Al-Qur’an sudah
ditulis sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup, setiap wahyu turun kepadanya Nabi
langsung memerintahkan para Sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya dengan
hati-hati. Kecuali ditulis, wahyu yang turun itupun segera dihafal oleh
kebanyakan para sahabat. Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, Al-Qur’an telah
dapat dikumpulkan dalam satu mashaf tersendiri, atas inisiatif Umar bin Khatab,
Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menyusun Al-Qur’an yang
tertulis pada kepingan-kepingan tulang, batu-batu, kulit dan lain-lain, dengan dibantu oleh beberapa sahabat
penghafal Al-Qur’an, antara lain Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman
bin Affan, maka tersusunlah satu mushaf pertama yang utuh. Pada masa
Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan terjadilah penyalinan kembali dan
penggandaan, dibuat sebanyak 4 eksemplar dan dibagikan ke Kuffah, Mekah,
Basyrah dan Syam (Siria).
KELEBIHAN AL-QUR’ANATAS
KITAB-KITAB LAINNYA
1.
Dari segi bahasa dan bahasannya, Al-Qur’an mempunyai
kehebatan yang tak ada tandingannya di dunia ini,
keserasian dan keindahan bahasanya, keseimbangan kata-kata dan
kalimatnya, dan keselarasan kata dan maknanya bukan saja memberikan irama
tertentu tapi juga menimbulkan keindahan dan kedalaman
makna multi dimensi. Kecuali keindahan kata yang
bias digali dari kata atau susunannya, pemilihan dan pengulangan kata atau kata seringkali mengandung makna
yang sangat dalam dan berarti. Bila kita perhatikan kata yaum (hari) umpamanya, kita akan menemukannya diulang sebanyak 365
kali (satu tahun) dalam bentuk tunggal yaum,
dan 30 kali (satu bulan) dalam bentuk jamak,
dan kata-kata yang berarti
bulan sebanyak 12 kali.
2.
Al-Qur’an terkadang berbicara tentang
peristiwa-peristiwa yang belum terjadi atau terbukti pada waktu turunnya ayat yang bersangkutan, dan kemudian kenyataan
fenomena alam membuktikan kebenarannya, seperti kemenangan Romawi setelah
kekalahannya. Kecuali itu Al-Qur’an memberitakan masa lalu yang penafsiran
konkritnya baru ditemukan secara menakjubkan etelah ayat itu turun. Seperti
ditemukannya mumi Fir’aun yang hidup pada zaman Nabi Musa pada abad 19. menurut
penyelidikan, Fir’aun tersebut adalah Fir’aun yang tenggelm di laut pada waktu
engejar Nabi Musa. Hal ini sangat mengejutkan dan juga mengagumkan, dimana Al-Qur’an
menyatakan bahwa : “Allah menyelamatkan tubuh Fir’aun agar menjadi tanda bukti
bagi manusia setelahnya.”
3.
Al-Qur’an banyak berbicara tentang alam dan
fenomenanya. Informasi yang diberikannya tidak pernah kehabisna makna, usang,
apalagi bertentangan. Bahkan Al-Qur’an tetap aktual dan secara luar biasa
mampu memberikan makna dan inspirasi yang menarik di tengahperkembangan dan
kemajuan IPTEK.
4.
Al-Qur’an diturunkan untuk semua ummat
manusia dan bahkan di luar manusia (Jin). Ia tetap berlaku pada sepanjang masa dan
tempat.
5.
Naskah yang asli sampai hari ini masih ada
dan terpelihara secara suci dari perubahan
atau penyelewengan tangan-tangan manusia, tidak seperti kitab suci yang lainnya.
6.
Kandungan Al-Qur’an mencakup pokok-pokok
ajaran kitab suci yang lain terutama Injil, Taurat dan Zabur, serta meluruskan
kitab-kitab yang sebelumnya dari penyimpangan/perubahan. Dan Al-Qur’an utuh
serta menyeluruh.
7.
Di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai
sesuatupun yang bertentangan dengan akal atau tidak sesuai dengan kenyataan
alamiah atau menyesatkan.
POKOK-POKOK KANDUNGAN DALAM AL-QUR’AN
Pokok-pokok kandungan dalam Al-quran antara lain:
1. Petunjuk mengenai akidah yang harus diyakini oleh
manusia.
2. Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang harus
diikuti manusia dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesama insan.
3. Petunjuk tentang akhlak.
4. Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau.
5. Berita tentang zaman yang akan datang,Yakni zaman
kehidupan akhir manusia.
6. Hukum yang berlaku bagi alam semesta.
KEUTAMAAN AL-QUR’AN DITEGASKAN DALAM SABDA
RASULLULLAH
Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan
dalam Sabda Rasullullah, antara lain:
1. Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang
mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.
2. Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an
(HR. Turmuzi)
3. Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah
beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an
dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua
pahala (HR. Muslim).
4. Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah,
maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR.
Bukhari-Muslim).
5. Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan
datang Al-Qur’an sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).
AL-QURAN MENGANDUNG TIGA KOMPONEN DASAR HUKUM
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum,
sebagai berikut:
1. Hukum I’tiqadiah, yaitui
hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang
berkaitan dengan akidah atau keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman.
Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2. Hukum Amaliah, yaitu hukum
yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia
dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah
ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara atau syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perilaku normal
manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial.
Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
NAMA-NAMA AL-QUR’AN
Selain dari alquran disebut
juga sebagai berikut :
1. Al-Furqan yang membedakan
(antara yang benar dan yang salah,
antara yang baik dengan yang buruk,
haq dengan bathil).
2. Al-Haqq yang berarti
kebenaran Ilahi yang mutlak sempurna.
3. Al-Hikmah yang berarti
hikmah atau kebijaksanaan.
4. Al-Huda yang berarti
petunjuk hidup.
5. As-Syifa yang berarti
penyembuhan ruhani.
6. Ad-Dzikru yang berarti pengingat.
7. Al-Kitab yang berarti
tulisan atau yang ditulis.
ISI
POKOK DALAM AL-QUR’AN
Pada garis besarnya Al-Quran memuat :
1. ’Aqidah
2. Syari’ah : ”Ibadah dan
Muamalah”
3. Akhlaq
4. Kisah-kisah lampau
5. Berita-berita yang akan datang
6. Pengetahuan-pengetahuan Illahi penting lainnya. Al-Qur’an:
-
Terdiri dari 114 surah; surah terdiri atas
ayat-ayat; terdiri atas 6247 ayat atau 6360 ayat (bila setiap ayat Bismillah
pada awal setiap surah kita hitung.
-
Terdiri atas 30 juz.
-
Terbagi atas :
a.
Surah-surah
Makiyah, yakni surah-surah yang dinuzulkan kepada Nabi Muhammad SAW pada
periode ia di Mekah al-Mukaromah,
yaitu sejak tahun 13 sebelum hijrah sampai tahun-tahun terakhir menjelang hijrah.
b.
Surah-surah
Madaniyah, yakni surah-surah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW pada masa ia di Madinah Al-Munawarah sejak 3 tahun
pertama hijrah sampai dengan akhir hayat beliau tahun 11 Hijrah.
FUNGSI AL-QUR’AN
Aturan
Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni
sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán
(pembeda) (QS. 2:185). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’anmerupakan aturan yang
harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang
dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi
sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti
ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar
sebagai ciptaan Allah bukan cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya
harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi. Sedangkan Al-Qur’an sebagai
bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang apa-apa yang dipertanyakan
oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan
rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh
membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya
bersifat trial and error.
Fungsi
ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang haq dan
yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar
oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur. Untuk bisa memahami
dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá, bayyinát maupun furqán
secara mendalam, maka Al-Qur’anperlu dipelajari bagian demi bagian secara
cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106), memahami
munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat yang satu dengan
surat yang lain.
KEUTAMAAN AL-QUR’AN DITEGASKAN DALAM SABDA
RASULLULLAH
Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara
lain:
- Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang
yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya
- Umatku yang paling mulia adalah Huffaz
(penghafal) Al-Qur’an (HR. Turmuzi)
- Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah
beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an
dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya
dapat dua pahala (HR. Muslim).
- Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan
Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR.
Bukhari-Muslim).
- Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti
akan datang Al-Qur’an sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).
KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam.
Al-Qur’an tak lain adalah serangkaian firman Allah Swt yang ditransmisi kepada
umat manusia melalui utusannya, yaitu Muhammad SAW. Selain dapat dibaca dan
berimplikasi pahala bagi yang membacanya, Al-Qur’an juga menjadi panduan
keseharian bagi kehidupan ummat manusia, setiap manusia yang meyakini Al-Qur’an
dan menjalankan ketentuan-ketentuannya niscaya hidup mereka akan sejahtera.
Islam berasal dari kata “aslama” yang bermakna tunduk dan patuh, jadi islam
berarti tunduk dan patuh terhadap perintah perintah allah, dalam Al-Qur’an
semua agama dapatlah disebut islam jika mereka berpedoman yakni beriman kepada
tuhan, hari akhir dan berbuat baik, Al-islam manusia kepada tuhan sudah menjadi
tuntutan sejak diciptakanya manusia. Menurut al-Qur’an pengembangan ilmu banyak
memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk menciptakan kemaslahatan bagi alam
semesta dan umat manusia, ilmu juga tidak boleh digunakan untuk tujuan yang
dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi baik kerusakan alam, lingkungan,
sosial maupun merusak manusia secara individu. Oleh karena itu, pengembangan
ilmu selalu terikat dengan nilai nilai kebaikan, di dalam al-Qur’an juga tidak
dapat menerima pandangan sebagai filosof dan keilmuan sekuler dan memisahkan
ilmu ilmu dari nilai nilai agama, moral dan etika. Menurut Al-Qur’an
pengetahuan dapat diperoleh manusia dari tiga sumber, yaitu alam semesta dengan
menggunakan semua realitas yang ada didunia sebagai sumber ilmu, kemudian akal
pikiran manusia itu sendiri yang digunakan untuk pengetahuan rasional dan
pengetahuan fenomenologis, dan yang terakhir sumber pengetahuan yang berasal
dari wahyu allah swt.pengetahuan yang bersumberkan dari wahyu allah swt juga lebih
tinggi dari sekedar instuisi yang
diperoleh para filosofi sehingga kebenaran wahyu allah swt bersifat mutlak.
Dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang alam dan fenomenanya sebanyak 750
ayat, ayat ayat ini memerintahkan manusia untuk meneliti dan mempelajari alam
semesta, tujuanya untuk mengantarkan manusia agar menyadari bahwa dibalik alam
tersembunyi banyak hal yang bisa menjadi sumber belajar bagi manusia. Alam semesta juga pada dasarnya merupakan
suatu tatanan yang bekerja dengan hukum serta potensi yang di anugrahkan oleh
alllaah swt, di dalam ayat ayat al-Qur’an juga memberikan dorongan dorongan
kepada manusia untuk berjalan dimuka bumi, serta mengamati dan memikirkan tanda
tanda kekuasaan allah swt di alam semesta. Oleh karena itu, manusia memanglah
harus belajar untuk mencapai suatu sarana bagi manusia dengan mewujudkan dan
melestarikan eksistensi dirinya untuk menuju proses belajar mengajar maupun
sumber belajar mengajar tersebut yaitu sumber insani yang diwakili oleh seorang
pendidik yang memberi informasi kepada subjek didik ataupun sumber non-insani
yang meliputi bahan bahan kajian seperti buku.
Dengan
mempelajari al-Qur’an juga dapat meningkatkan pengetahuan dan penelitian yang
menyebkan berbagai tumbuhnya cabang ilmu pengetahuan dan mengungkapkan berbagai
aspek dari jagad raya, namun semua ilmu pengetahuan itu disatukan dengan
sempurna melalui pengamatan terhadap alam semesta yang dikendalikan dan di
ciptakan oleh Allah swt. Manusia juga dapat belajar banyak tentang alam
semesta, karena alam semesta merupakan laboratorium terbesar yang selalu
terbuka bagi manusia yang mau dan bersemangat dalam berfikir, sehingga melalui
perenungan dan pengamatan terhadap alam semesta ini manusia akan mampu hidup dengan ajaran ajaran allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris, Hadits Nabi Sebagai Sumber Ajaran Islam,
Institut Agama Islam Negeri, Jurnal Institut Agama
Islam (IAIN) Mataram, Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Abu
Yasid, Hubungan Simbiotik Al-Qur’an dan
Al-Hadits Dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum, Jurnal Tsaqafah, Jawa Timur
: Pascasarjana IAI Ibrahimy Situbondo Jawa Timur, Vol. 7, No. 1, April 2011
Ajat
Sudrajat, Al-qur’an dalam Perspektif
Budaya, Humanika Ilmu Sejarah-FISE-UNY, Vol. 9, No. 1, Maret 2009
Akmansyah, Al-Qur’an dan Al-sunnah sebagai Dasar Ideal
Pendidikan Islam, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 8, No. 2,
Agustus 2015
Al-Bayan, Vol.
21, No. 30, 2014
Ani Umi
maslahah, Al-Qur’an Tafsir dan Ta’wil
dalam Perspektif Sayyid Abu Al-A’laal-Maududi, Hermeneutik STIQAN-NUUR
Ngrukem Yogyakarta Indonesia, Vol. 9, No. 1, 2015
Astuti,
Diskursus tentang Pluralitas Penafsiran
Al-Qur’an, Hermeunetik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia, Vol. 8,
No. 1, Juni 2014
As’aril
Muhajir, Tujuan Pendidikan dalam
Perspektif Al-Qur’an, Al,Tahrir, Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama
Islam (STAIN) Tulungagung, Vol. 11, No. 2, November 2011
Baso
Hasyim, Islam dan Ilmu Pengetahuan
(Pengaruh Temuan Sains Terhadap Perubahan Islam), Jurnal Dakhwah Tabligh
STAIN Palopo, Vol. 14 , No. 1 Juni 2013, Hl.129MATARAM, Vol. 12, No. 1, Juni
2013
Ending
Solehudin, Filsafat Ilmu Menurut
Al-Qur’an, Islamica, Vol. 6, No, 2, Maret 2012
Enoh,
Konsep Baik (Kebaiakan) dan Buruk
(Keburukan) dalam Al-Qur’an, Analisis
Konseptual Terhadap Ayat Ayat Al-Qur’an yang Bertema Kebaiakan dan Keburukan,
Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah Unisba, Vol. XXIII, No. 1, 2007
Erwin Jusuf
Thaib, Al-Qur’an dan As-sunnah Sebagai
Sumber Inspirasi Etos Kerja Islami, Jurnal Dakwah Tablig, Gorontalo : IAIN
Sultan Amai Gorontalo, Vol. 15, No. 1, Juni 2014
Erwin
Jusuf Thaib Jurnal Dakhwah Tabligh Fakultas Ushulludin dan Dakhwah IAIN Sultan Amai Gorontalo, Vol. 15, No. 1,
Juni 2014
Eva
Iryani, Hukum Islam, Demokrasi Dan Hak
Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Batanghari Jambi, Jambi : Universitas
Batanghari Jambi, Vol. 17, No. 2, 2017
Eva
Iryani, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
Jambi, Vol. 17 No. 3, 2017
Ghazali
Munir, Al-Qur’an dan Realitas Sejarah
Umat Manusia, Jurnal Ar-Taqaddum, Vol. 4, No. 1, Juli 2012
Heru
Suparman, ALQUDS:Jurnal Studi AlQur’an dan Hadits, Universitas Indraprasta
PGRI, Jakarta, Vol. 1, No. 2, 2017
Jaya,
Islam Dan Kebudayaan Islam, Jurnal
At-Ta’lim, Bandung, Vol. 4 No. 2, 2013
Khamdani
Khairul Fikri, Fungsi Hadits terhadap
Al-Qur’an, Tasamuh Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Vol. 12, No.
2, Juni 2015
Ling
Misbahuddin, Dimensi Keilmuan Dalam
Al-Qur’an, Jurnal at-taqaddum, Semarang : UIN Walisongo Semarang, Vol. 6,
No. 2, Nopember 2004
Misbahuddin
Jamal, Konsep Al-Islam dalam Al-Qur’an,
Jurnal Al-Ulum STAIN Manado, Vol. 11 No. 2, Desember 2011
[1]Fazlur Rahman, 1993, Metode Dan Alternatif Neomodernisme Islam,
(terj. Taufiq Adnan Amal), Bandung: Mizan, hal. 95. lihat juga Maulana Muhammad
Ali, 1980, Islamologi (Dinul Islam), Jakarta:
Ikhtiar Baru-Van Hoeve, hal. 2. Ia mengartikan `islam dengan “selamat, sentosa dan damai”
[2] Nurcholis Madjid, 1992,
Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemodernan, Jakarta: Paramadina, hal. 426.
[3] Seperti yang dikutip oleh Abdullah Ali dkk,
1994, Studi Islam I, Surakarta:
PSIK-UMS, hal.39 dari Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: PP. Muhammadiyah
[4] Lihat Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 64-65. Juga Nasruddin Razak, Op.Cit., hal. 55. Dan juga Huston Smith, 1985, Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 254.
[6] Abd al-Wahhab al-Khallaf, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis
al-`Ala al-Indonesia li al-Da‟wah al-Islamiyah, cet.IX,
hal. 23.
[8] Lebih jelasnya baca Zainal Abidin, 1992, Seluk-Beluk Al-Qur`an, Jakarta: Rineka
Cipta, hal. 33- 36.
[9] Al-Qattan, Op.Cit., hal.
20-24. Bandingkan dengan Imam as-Suyuti, 1996, Apa Itu Al-Qur`an, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 15-16
Komentar
Posting Komentar