AL-QURAN SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM (NAMA: SODIKIN)


AL-QURAN SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

SODIKIN
36
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Email : k085273325517@gmail.com
Website: SUKANGITUNG


Abstrak
            Agama islam adalah agama yang sangat mulia, Al-Qur’an sebagai pedoman hidup sangat berarti bagi orang islam, segala sesuatu yang kita alami tertera pada kitab Alqur’an, Al-qur’an sebagai tuntunan dan pedoman bagi kaum muslimin mempunyai fungsi yang sangat besar, seorang muslim harus senantiasa menggunakan Al-Qur’an sebagai tuntunan selama mereka hidup di bumi ini, Alqur’an tidak mempunyai keraguan didalamnya, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia khususnya mereka yang beriman, dan “bertaqwa kepada Allah. Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman manusia sebagai petunjuk manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat”.
            Ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman modern ini semakin berkembang bahkan berkembang sangat pesat, sedangkan agama bergerak lambat dan mayoritas budaya islam telah terpengaruh oleh budaya barat, karena itu tidak terjadi keharmonisan antara agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Al-Qur’an memberi pengaruh positif kepada umat islam untuk mencari dan mendapat pengetahuan dan kebahagiaan yang sesungguhnya yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hingga pada akhirnya pertemuan kaum muslimin dengan zaman modern ini dapat melahirkan berbagai aliran pemikiran, seperti aliran salah dengan semboyan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Islam sendiri merupakan agama yang sangat mulia, islam memiliki seperangkat ajaran yang terkandung didalamnya berupa ilmu tasawuf atau keesaan tuhan, sistem keyakinan lain dan ketentuan yang mengatur kehidupan manusia.

Kata Kunci : AlQur’an, Agama Islam
Abstrak
The religion of Islam is a very noble religion, the Qur'an as a guide to life is very meaningful to the Islamic people, everything we experience is written in the book of the Qur'an, the Qur'an as guidance and guidelines for the Muslims have a very big, a Muslim must always use the Qur'an as a guide as long as they live on this earth, the Qur'an has no doubt in it, the Qur'an is a guide for humans especially those who believe, devote to Allah. Al-Qur'an as a human guide as a guide for humans to achieve happiness in the world and in the hereafter.
               Science and technology in modern times are growing even more rapidly, while religion is slow and the majority of Islamic culture has been influenced by western culture, therefore there’s is no harmony between religion, science, and technology. Al-Qur'an gives a positive influence to Muslims to seek and obtain true knowledge and happiness, namely the happiness of the world and the hereafter. Until finally the meeting of the Muslims with modern times can give birth to a variety of schools of thought, such as the wrong flow with the slogan "back to the Qur'an and Sunnah. 
               Until finally the meeting of the Muslims with modern times can give birth to a variety of schools of thought, such as the wrong flow with the slogan "back to the Qur'an and Sunnah. Islam itself is a very noble religion, Islam has a set of teachings contained in it in the form of Sufism or oneness of God, other belief systems and provisions that govern all human life.

PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan sumber pokok ajaran islam sebagai petunjuk bagi manusia, sebagai pedoman hidup manusia untuk menuju kehidupan sejahtera didunia dan selamat diakhirat.
Rasulullah SAW ketika akan wafat berwasiat bahwa ia tidak meninggalkan warisan harta, kecuali yang ia tinggalkan adalah Al-Quran dan As-Sunnah, barang siapa yang berpegang teguh pada kedua sumber tersebut diatas yaitu Al-qur’an dan AS-sunnah, maka  pasti mereka tidak akan sesat untuk selama-lamanya.

PENGERTIAN ISLAM SECARA ETIMOLOGIS
Kata Islam berasal dari bahasa Arab. Akar katanya s-l-m (س ل م ). Kata kerja bentuk pertamanya ialah salima (سلم). Kata kerja bentuk pertama ini tidak digunakan dalam Al-Qur’an, tetapi ungkapan bahasa tertentu dari akar kata itu seringkali digunakan. Di antaranya ialah kata silm (سلم) dalam surat Al-Baqarah ayat 208 yang berarti,salam (سلام) dalam surat AZ-Zumar ayat 29, sebagai lawan dari “pemilahan dalam bagian yang bertentangan”, juga dalam surat an-Nisa ayat 91 yang juga digunakan dalam pengertian damai. Dengan demikian kata tersebut dalam Al-Qur’an sering kali digunakan dengan makna damai, dan aman[1].
Kata kerja bentuk keempat ialah aslama (ا سلم), artinya ia menyerahkan dirinya Sering digunakan dalam ungkapan aslama wajhahu yang artinya ia menyerahkan pribadi atau dirinya yang diikuti dengan lillah karena Allah. Ada berpendapat lain yang menambahkan dengan arti memelihara dalam keadaan selamat sentosa, tunduk patuh dan taat”. Kata islam merupakan verbal noun (mashdar; kata benda verbal) dari bentuk keempat ini. Muncul dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali. Dengan pengertian tersebut, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan. Dengan itu Nurcholis Madjid menegaskan bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat Islam. Sikap ini tidak  merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam asli manusia. Dengan kata lain diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh apalagi dipaksakan dari luar, karena cara yang demikian menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan dimensi yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan[2].
Subjek dari aslama ialah muslim (مسلم). Baik dalam bentuk  tunggal,  dua  atau  jamak  kata  muslim  sering  muncul  dengan  artinya seseorang yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Dalam surat Al-Imran ayat 83, alam semesta dikatakan sebagai muslim sebab ia mematuhi hukum Tuhan. Menurut Fazlur Rahman, kata islam dan muslim selalu digunakan oleh Al-Qur’an kadang dalam makna harfiahnya orang yang menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan, kadang juga dalam makna sebagai nama-diri untuk pesan keagamaan yang dikumandangkan oleh Al-Qur’an dan bagi komunitas yang menerimanya. Bahkan dalam surat Al-Hajj/22:78, pesan agama ini diberikan kepada Ibrahim A.S, yang dikatakan telah memberikan nama Muslim kepada komunitas yang menerima pesan Al-Qur’an. Maka nyatalah bahwa Islam di masa Madinah, selain bermakna harfiah, telah direifikasi menjadi nama agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dan muslim menjadi komunitas formal yang memeluk Islam (QS. 5:111).
Selanjutnya Rahman menjelaskan, bahwa ada dua hal penting untuk disimak sehubungan dengan istilah islam. Pertama, bahwa islam integral dengan iman. “Penyerahan” kepada Tuhan, dalam karakteristiknya yang hakiki, adalah mustahil tanpa iman. Bahkan kedua kata ini pada dasarnya adalah sama dan telah digunakan secara ekuivalen dalam banyak bagian Al-Qur’an.
Kedua, islam merupakan pengejahwantahan lahiriah, konkret dan terorganisasi dari iman, melalui suatu komunitas normatif. Karena itu, anggota-anggota komunitas ini harus didasarkan pada iman dan cahayanya, dan sebaliknya cahaya iman  semacam itu harus menjelma keluar sendiri melalui komunitas ini. Seseorang mungkin saja mempunyai iman, tetapi iman tersebut bukanlah iman sejati dan sepenuhnya kecuali jika ia diekspresikan secara islami dan melalui suatu komunitas yang semestinya, suatu komuitas yang muslim.

SECARA TERMINOLOGIS
Ada beberapa ulama dan pemikir Islam yang memberikan pengertian Islam secara terminologis, diantaranya ialah Syaikh Mahmud Syaltut. Ia memberikan pengertian Islam sebagai agama yang disyariatkan oleh Allah melalui nabi-Nya Muhammad SAW. untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia.
Harun Nasution memberikan pengertian Islam sebagai agama yang ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tatapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, di mana dua ajaran pokoknya yaitu keesaan Tuhan dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja sebagai agama seluruh Nabi Allah, melainkan pula sebagai hakikat ketundukan dan keberserahan diri alam semesta kepada hukum Tuhan.
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam putusannya memberikan pengertian agama Islam sebagai apa yang telah disyariatkan Allah dengan perantaraan para Rasul-Nya berupa perintah, larangan, dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW adalah apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan termuat dalam sunnah shahihah berupa perintah, larangan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat[3].
Di kalangan masyarakat Barat, Islam sering diidentikkan dengan istilah Muhammadanism dan Muhammedan. Peristilahan ini merupakan bentuk analog dengan nama agama di luar Islam yang pada umumnya disandarkan pada nama pendirinya. Di Persia umpamanya ada agama Zoroaster. Selanjutnya terdapat agama Budha yang dinisbahkan kepada tokoh pendirinya Sidharta Gautama Budha (lahir 560 SM). Demikian pula agama Yahudi yang disandarkan pada orang yahudi, asal nama dari negara Yahudi. Agama Kristen yang diberikan kepada Yesus Kristus.
Penyebutan Muhammadanism untuk agama Islam bukan saja tidak tepat, tetapi secara prinsipil salah. Istilahan itu bisa mengandung arti bahwa Islam adalah faham Muhammad atau pemujaan terhadap Muhammad seperti yang terdapat dalam agama Budha atau Kristen. Atau peristilahan itu juga bisa membawa pengertian bahwa agama Islam hanya untuk bangsa atau komunitas tertentu yang berkaitan dengan Muhammad, seperti agama Yahudi untuk bani Israel atau bangsa Yahudi.
Analogi nama dengan agama-agama lainnya jelas tidaklah mungkin bagi Islam. Karena pertama, agama Islam bersumber dari wahyu yang datang dari Allah SWT. Bukan dari manusia, bukan pula Muhammad. Posisi Nabi SAW dalam agama Islam diakui sebagai manusia yang ditugasi untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada ummat manusia. Dalam proses penyebarannya peranan Nabi terbatas hanya memberi keterangan, penjelasan, uraian dan contoh prakteknya. Tidak lebih. Kedua, Islam bersifat universal, rahmatan lil alamin, untuk siapa saja, tidak terbatas komunitas atau bangsa tertentu seperti agama-agama sebelum Islam, muthabiqun likulli zaman wa makan, menembus batas ruang dan waktu, sesuai untuk manusia kapan dan di mana saja[4].
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwasannya Islam, dilihat dari misi ajarannya berarti semua agama Allah yang diturunkan kepada para Rasul Allah sejak Nabi Adam A.S sampai Nabi Muhammad SWT. Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa sungguh para Nabi tersebut telah menyatakan diri sebagai muslim (keberserahan diri secara total kepada Allah), akan tetapi agama yang mereka bawa itu secara resmi tidak disebut agama Islam. Agama yang dibawa Nabi Isa, tidak disebut Islam tetapi Nasrani, yaitu nama yang diberikan kepada tempat kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazaret.
Secara istilah, yang resmi disebut sebagai agama Islam ialah agama yang diwahyukan berupa Al-Qur’an oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, khotimul anbiya’ (penutup para Nabi) untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia sebagai penyempurna misi keislaman yang diajarkan oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Meskipun pada periode Makkah ayat-ayat Al-Qur’an telah menyebut Islam baik maupun sebagai agama konkret, namun penyebutan Islam secara tegas formal sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad ini baru terjadi pada periode Madinah, atau setelah umat Islam menjadi sebuah komunitas Muslim di Madinah. Hal ini digunakan untuk membedakan umat Islam dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menyimpang dari ke islaman mereka.

SUMBER AJARAN ISLAM
Pada umumnya, ulama mengajarkan bahwa sumber agama Islam ada empat, yaitu Qur’an, Sunnah, ‘Ijma (kesepakatan pendapat di antara jamaah muslimin) dan Qiyas (penggunaan akal). Qur’an dan sunnah (atau hadits) disebut al-Adillah al-Qothiyyah, dalil yang mutlak benar. Sedang ‘ijma dan qiyas disebut al-Adillah al-Ijtihadiyyah, dalil yang diperoleh dengan jalan ijtihad.
Tetapi karena menurut pengakuan ulama ‘ijma dan qiyas itu didasarkan atas Qur’an dan hadits, sedang hadits itu sendiri merupakan penjelasan Nabi SAW terhadap Qur’an, maka Qur’an Suci benar-benar merupakan asas hakiki, yang di atas itu berdiri bangunan Islam, dan merupakan satu-satunya dalil yang mutlak dan menentukan dalam setiap pembahasan yang berhubungan dengan ajaran Islam; dan tak salah jika dikatakan bahwa Quran adalah satu-satunya sumber utama yang darinya diambil segala ajaran dan amalan agama Islam.
Di sini akan dibahas tentang sumber utama ajaran Islam (al-Adillah al-Qathiyyah). Pertama, Al-Qur’an. Kedua, as-Sunnah, dan kemudian diakhiri dengan pembahasan tentang ‘ijtihad dalam Islam.

AL-QUR’AN
Pengertian al-Qur’an
Di kalangan ulama ada perbedaan pengertian etimologis (bahasa) mengenai Al-Qur’an. Asy-Syafii misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak berasal dari akar kata apapun, dan tidak pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalam Allah (firman Tuhan) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Lain dari itu, banyak juga ulama yang mencoba mengembalikan lafadz Qur’an pada akar kata tertentu. Al-Farra’ misalnya, menyebut bahwa lafadz Qur’an berasal dari kata qara’in, jamak dari kata qarinah, karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Al-Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya al-Asyari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz itu diambil dari akar kata qarn yang berarti, karena surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an satu dan lainnya saling berkaitan[5].
Sementara itu ada juga yang menyebut Qur’an sebagai isim masdar (verbal noun) dari akar qara’a, yang makna aslinya ialah mengumpulkan dan menghimpun. Kata ini berarti pula membaca, karena dalam membaca, huru dan kata-kata dihubungkan satu sama lain menjadi susunan kalimat. Sehingga qur’an sering kali disamakan dengan qira’at (penamaan maful dengan masdar), yang berarti bacan, yakni himpunan huruf dan kata-kata dalam suatu ucapan yang tersusun rapi20.
Senada dengan uraian di atas Farid Esack, seorang Doktor di bidang Tafsir Al-Qur’an Universitas Western Cape-Afrika Selatan, menyimpulkan bahwa secara harfiah al-Qur’an berarti bacaan, pengucapan atau kumpulan. Ada baiknya kita ikuti uraian Esack:
“Mayoritas pemikir Arab sepakat bahwa kata Qur’an adalah bentuk lampau yang berasal dari akar kata Arab qara’a yang berarti ia membaca, atau kata sifat dari qarana, ia menghimpun atau mengumpulkan. Di dalam al-Qur’an sendiri, kata Qur’an dipakai dalam arti membaca (QS. Al-Isra’ (17):93),
mengucap (Al-Qiyamah (75): 18), dan sebuah kumpulan (QS. Al Qiyamah
(75): 17)…”21
Adapun pengertian Al-Qur’an dari segi istilah, Abd al-Wahhab al-khallaf menjelaskan bahwa, ia merupakan firman Allah yang diturunkan kepada hati Rosulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui Jibril dengan menggunakan lafadz bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushhaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian[6].

PEWAHYUAN AL-QUR’AN
Dari pengertian di atas, tampak bahwa dalam paham dan keyakinan umat Islam, Al-Qur’an sebagai Kitab Suci, mengandung sabda Tuhan (kalam Allah), yang melalui wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammada SAW. Dalam Al-Qur’an dijelaskan wahyu ada tiga macam. Seperti yang tertera dalam QS. Asy-Syura [42]:51:
“Tidaklah dapat terjadi pada manusia bahwa Tuhan berbicara dengannya kecuali melalui wahyu, atau dari belakang tabir, ataupun melalui utusan yang dikirim; maka disampaikanlah kepadanya dengan sizin Tuhan apa yang dikehendakinya. Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Demikianlah Kami kirimkan kepadamu ruh atas perintah kami”.
Wahyu dalam bentuk pertama adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya; timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Maulana Muhammad Ali menyebutnya dengan makna aslinya sebagai al-‘Isyarat as-sariah, isyarat yang cepat yang dimasukkan dalam kalbu seseorang. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, rukyat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammada SAW adalah wahyu dalam bentuk ketiga seperti yang dijelaskan oleh Al-Qur’an: Sesungguhnya ini adalah wahyu Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh ruh setia ke dalam hatimu agar engkau dapat memberi ingat dalam bahasa Arab yang jelas” (QS. Asy-Syuara` [26]: 192-193) Selanjutnya:Katakanlah, ruh suci membawakannya turun dengan kebenaran dari Tuhanmu, untuk meneguhkan (hati) orang yang percaya dan untuk menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi yang berserah diri” (QS. An-Nahl [16]:102)
Bahwa yang dimaksud dengan ruh setia atau ruh suci adalah Jibril:
Katakanlah siapa yang menjadi musuh Jibril, maka ialah yang sebenarnya membawanya turun ke dalam hatimu dengan seizin Tuhan untuk membenarkan apa yang (datang) sebelumnya dan untuk menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang percaya” (QS. Al-Baqarah [2]: 97)
Hadits-hadits juga menjelaskan bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah melalui Jibril. Dalam suatu hadits Aisyah mengemukakan bagaimana Jibril merangkul Nabi hingga beliau merasa kesakitan ketika menerima wahyu yang pertama.
Dalam hadits lain sewaktu ditanya, bagaimana caranya wahyu turun kepada Nabi, Nabi Muhammad menerangkan: “Wahyu itu terkadang turun sebagai suara lonceng dan inilah yang terberat bagiku. Kemudian ia (Jibril) pergi dan aku pun sudah mengingat apa yang dituturkannya. Terkadang malaikat itu datang dalam bentuk manusia, berbicara kepadaku dan akupun mengingat apa yang dikatakannya”.
Hadits lain lagi, yang berasal dari Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa pada bulan-bulan Ramadlan, Jibril selalu turun mendengar dan memperbaiki bacaan Nabi mengenai ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Atas dasar ayat-ayat dan hadits-hadits serupa inilah maka umat Islam mempunyai keyakinan bahwa apa yang terkandung Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan. Farid Esack menjelaskan, bahwa sebagai kompilasi Firman Tuhan, Al-Qur’an tidak merujuk pada sebuah kitab yang diilhami atau dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis di bawah bimbingan ruh-Nya. Ia lebih dianggap sebagai kata-kata langsung Tuhan. Dengan kata lain, teks Arab yang ada dalam Kitab Suci itu tidak diakui sebagai wahyu, apalagi terjemahannya dalam bahasa asing.
Wahyu dalam bentuk kata-kata itu diturunkan oleh Jibril untuk disampaikan kepada Nabi tidak secara sekaligus tetapi berangsur-angsur dan bertahap dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari 26 atau biasanya digenapkan menjadi 23 tahun sesuai dengan perdebatan tentang masa tinggal Nabi di Makkah setelah kenabian (an-Nubuwwah). Hikmahnya ialah seperti yang tersirat dalam Al-Qur’an surat al-Furqan [25] ayat 32: “Berkatalah orang-orang yang kafir: ”Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali saja?”; demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok” Yang pertama ialah, untuk meneguhkan hati Nabi SAW. Dengan turunnya wahyu dalam setiap peristiwa, maka hal itu merupakan komunikasi langsung dan intens yang menguatkan hati dan memberikan perhatian yang lebih kepada Nabi. Jibril akan turun berkali-kali kepadanya sehingga menimbulkan kegembiraan di hatinya.
Kedua, untuk memudahkan pembacaan dan penghafalannya (penjagaannya) serta penerimaannya dalam konteks pentahapan hukum yang terdapat di dalamnya. Berbeda jika diturunkan secara sekaligus, selain akan menyulitkan dalam menghafal juga akan menyulitkan banyak orang karena banyaknya kewajiban dan larangan di dalamnya[7].
Ketiga, dari hadits-hadits Nabawi dapat diketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan sesuai kebutuhan. Kadang-kadang diturunkan lima ayat atau kadang-kadang sepuluh ayat, kurang sedikit dari itu atau lebih. Hal ini mempunyai implikasi pada “revolusi budaya” yang kontekstual-komprehensif (rahmatan lil ‘alamin) bagi umat Nabi. Untuk lebih jelasnya kita ikuti dulu sejarah kodifikasi (pembukuan) Al-Qur’ansejak masa Nabi SAW.

SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN
1.    Masa Rasulullah SAW
Yang dilakukan Nabi pada saat itu setiap wahyu turun ialah menyampaikan kepada para sahabat untuk dihafal dan dicatat. Zaid bin Tsabit adalah sekretris utama dalam mencatat tulisan dalam ayat-ayat yang diturunkan itu. Selain dari sekretaris ini disebut juga nama sahabat-sahabat lain yang disuruh mencatat, seperti Abu Bakar, Utsman, Umar, Ali, Zubair Ibnu Awam, Abdullah Ibnu Saad dan Ubay Ibnu Kaab. Ayat-ayat itu ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan lain-lain.
Jadi, pada masa Rasulullah ayat-ayat Al-Qur’an sudah ditulis secara keseluruhan, tetapi belum dihimpun di dalam satu Mushhaf seperti sekarang ini, karena masih menunggu adanya penghapusan sebagian hukum dan tilawahnya. Sebenarnya sejak masa Rasulullah, secara lisan Al-Qur’an sudah terhimpun atas petunjuk Jibril dalam kuatnya ingatan penghafal-penghafal profesional di kalangan sahabat, dan senantiasa terjaga dalam bacaan shalat.
2.    Masa Abu Bakar ash-Shiddiq.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa penghafal-penghafal ini besar peranannya dalam sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk mushhaf seperti yang kita kenal sekarang. Kodifikasi ayat-ayat dalam bentuk buku ini, terjadi setelah banyaknya sahabat-sahabat yang menghafal Qur’an gugur dalam peperangan yang timbul pada zaman Abu Bakar. Tepatnya pada perang Yamamah. Dengan gugurnya penghafal-penghafal Qur’an dikhawatirkan ayat-ayat Al-Qur’an akan ikut hilang.
Maka atas anjuran Umar, Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat lain untuk mengumpulkan ayat-ayat yang ditulis di atas batu, tulang, pelepah kurma dan dihafal oleh sahabat-sahabat itu untuk disusun dalam bentuk mushhaf sesuai dengan susunan bacaan lisan yang sudah lazim pada zaman Nabi SAW. Mushaf ini menjadi naskah standar sampai pada akhir masa Umar sebagai khalifah kedua, yang pemeliharaannya diserahkan kepada Hafshah, putri Umar.
3.    Masa Usman bin Affan.
Mushhaf yang ada pada Hafshah, kemudian oleh Utsman bin Affan, khalifah ketiga (644-655), ditulis kembali dan diperbanyak eksemplarnya, kemudian dikirimkan ke daerah-daerah untuk menjadi pegangan tertulis bagi umat Islam yang ada di sana[8]. Dalam penulisan  ini  sangat diperhatikan sekali perbedaan  bacaan  (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Utsman memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdur Rahman bin al-Harits bin Hisyam. Mushhaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Dari teks Utsman inilah salinan-salinan selanjutnya ditulis dan dicetak. Sehingga kita mengenal mushhaf kita sekarang ini sebagai mushhaf ala rasm Utsmani.
4.    Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga fase:
a)   Muawiyah bin Abi Sufyan menugaskan Abu al-Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda bacaan (Irab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca.
b)   Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al-Hajaj bin Yusuf yang dibantu oleh Nashr ‘Aslim dan Hay bin Ya’mar, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan huruf lainnya (Ba’ dengan satu titik di bawah; Ta’ dengan dua titik di atas; Tsa’ dengan tiga titik di atas dll.)
c)    Peletakan baris atau tanda baca (Irab) seperti dhomah, fathah, kasrah dan sukun mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy.
Berdasarkan atas sejarah kodifikasi yang jelas ini, umat Islam berkeyakinan bahwa teks Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini betul sesuai dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Keorisinilan Al-Qur’an dari Nabi Muhammad ini juga diakui oleh para orientalis. Nicholson dalam A Literary History of Arab (1961) umpamanya mengatakan: “keasliannya tidak diragukan” H.A.R. Gibb dalam Muhammedanism menulis: “Sangat bisa diterima bahwa bentuk dan isi ucapan-ucapan yang asli sangat terjaga”.
Jelaslah sudah bahwa teks Al-Qur’an adalah asli dari Tuhan. Wahyu yang Nabi terima dari Tuhan melalui Jibril dalam bentuk kata-kata yang didengar dan dihafal, bukan dalam bentuk pengetahuan yang dirasakan dalam hati atau yang dialami, bukan pula yang dilihat dalam keadaan tidak sadar (trance).

NAMA, SIFAT DAN FUNGSI AL-QUR’AN
Sungguh tepat penamaan Al-Qur’an oleh Allah sendiri, yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna”, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an. Selain sebutan Al-Qur’an (QS. al-Isra’ [17]: 9), dalam berbagai ayatnya, Al-Qur’an juga menyebut dirinya dengan al-, al-Kitab (QS. al-Anbiya` [21]: 10), al-Furqan (QS. Al-Furqan [25]:1), al-Dzikr (QS. Al-Hijr [15]: 9) dan at-Tanzil (QS. Al-Syuara’ [26]: 192). Yang paling populer di antara sebutan itu ialah al-Qur’an dan al-Kitab.
Sedangkan mengenai sifatnya, Al-Qur’an menyebut beberapa sifat diantaranya adalah an-Nur, cahaya (QS. An-Nisa’ [4]:174); al-Huda, petunjuk; asy- Syifa’, obat; ar-Rohmah, rahmat; al-Mauidzoh, nasehat (QS. Yunus [10]: 57); al-Mubin, yang menerangkan (QS. Al-Maidah [5]:15); al-Mubarak, yang diberkati (QS. Al-‘Anam [6]:92); al-Busyro, kabar gembira (QS. Al-Baqarah [2]:97); al-Aziz, yang mulia (QS. Fushshilat [41]:41); al-Majid, yang dihormati (QS. Al-Buruj [85]: 21); al-Basyir, pembawa kabar gembira; an-Nadzir, pembawa peringatan (QS. Fushshilat [41]:3-4)[9]. Dari nama dan sifat-sifat di atas, sebenarnya secara global dapat diketahui apa fungsi al-Qur’an itu sendiri.
Di antaranya ialah, pertama, untuk menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan mujizat terbesar baginya. Keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatannya dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Allah sendiri yang akan menjaganya (QS. Al-Hijr [15]:9).
Kedua, sebagai petunjuk bagi manusia. Yakni sebagai konfirmasi yang memperkuat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Hanya orang-orang bertaqwalah yang sesungguhnya mendapatkan petunjuk Al-Qur’an ini. Karena fungsi Al-Qur’an sebagai sarana mencapai kebaikan di dunia dan akherat terpenuhi. Sedangkan bagi orang yang tidak bertaqwa, Al-Qur’an hanya bisa dipakai sebagai sarana untuk mencapai kebaikan di dunia semata.
Ketiga, sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada Al-Qur’an. Selanjutnya Al-Qur’an berfungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi terhadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh Bani Israil terhadap ayat-yat Allah umpamanya dikoreksi.
Keempat, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Di sini Al-Qur’an menjelaskan mengenai janji Allah tentang balasan baik bagi orang-orang yang mentaati perintah-Nya dan menjelaskan peringatan Allah tentang hikuman bagi mereka yang melanggar dan mengingkari-Nya.
Kelima, sebagai syifa’an, obat penawar. Di sini bisa diartikan dalam dua versi, yaitu sebagai penyembuh penyakit batin dan penyembuh penyakit fisik. Penyakit batin seperti kesombongan, kerakusan, kemalasan, dengki, iri dan sebagainya. Sedangkan mengenai penyakit fisik, seperti yang tersirat dalam surat an-Nahl ayat 69, di situ dijelaskan tentang lebah dengan madunya. Dari ayat itu tentu Al-Qur’an mendorong manusia untuk menyingkap misteri obat apa yang terdapat di dalamnya. Sedikit uraian di atas, mungkin bisa menjelaskan tentang fungsi Al-Qur’an yang paling populer di yakini umat Islam. Yakni, sebagai rahmatan lil-alamin, rahmat bagi sekalian alam. Di sini Al-Qur’an sebagaimana Islam menjadi bersifat universal. Muthabiqun likulli zaman wa makan, sesuai kapan dan di manapun.

KANDUNGAN AL-QUR’AN
Wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam dua periode: periode Makkah yang lamanya kira-kira 13 tahun dan periode Madinah yang lamanya kira-kira 10 tahun. Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah merupakan bagian terbanyak, dan yang diturunkan di Madinah kira-kira sepertiga dari keseluruhan ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Kedua periode tersebut mempunyai ciri masing-masing. Pada periode Makkah, di mana agama Islam baru didirikan dan dinyatakan, ayat-ayat yang diturunkan banyak mengandung keterangan-keterangan tentang dasar Islam, seperti keesaan Tuhan, pengiriman rasul-rasul, adanya kitab-kitab suci, adanya kelak hari perhitungan dan pembalasan sesudah hidup duniawi, adanya surga dan neraka. Juga ajaran-ajaran lain, seperti sikap terhadap agama-agama lain, tanda-tanda tentang adanya Tuhan, ancaman bagi orang yang tidak mau percaya, teladan dari sejarah-sejarah umat terdahulu yang tidak patuh terhadap ajaran-ajaran sebelum Nabi Muhammad, cara mengabdi pada Tuhan, budi pekerti luhur dan lain-lain.
Sedangkan pada periode Madinah di mana umat Islam telah berkembang menjadi umat yang kuat dan mempunyai negara yang disegani oleh suku-suku bangsa Arab lainnya, bahkan kota Makkah yang mengusir Nabi Muhammad akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan Madinah ayat-ayat yang diturunkan mempunyai corak yang lain sekali dari ayat-ayat yang turun di Makkah. Ayat-ayat pada periode ini telah mencakup soal-soal hidup kemasyarakatan dan kenegaraan, seperti soal hukum yang mengatur hidup kekeluargaan (perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya), hubungan dagang dalam masyarakat, pengadilan, hubungan orang Muslim dengan non-Muslim, hubungan antara orang kaya dengan orang miskin dan sebagainya. Di samping soal-soal hukum ini, ayat-ayat periode Madinah juga mencakup polemik yang terjadi dengan kaum Yahudi, hubungan dengan suku-suku Arab Badui dan penjelasan lebih lanjut tentang soal-soal yang telah disinggung pada periode Makkah39. Dengan demikian dapatlah ayat-ayat Al-Qur’an dibagi ke dalam bagian-bagian besar berikut:
1.    Ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan atau kredo dalam Islam yang dari situ lahir teologi Islam.
2.    Ayat-ayat mengenai soal hukum yang melahirkan ilmu hukum Islam (fiqih).
3.    Ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa keentuan-ketentuan tentang ibadah dalam Isalam.
4.    Ayat-ayat mengenai budi pekerti luhur yang melahirkan etika Islam.
5.    Ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubuingan manusia dengan Tuhan yang kemudian melahirkan mistisme dalam Islam.
6.    Ayat-ayat mengenai tanda-tanda alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang membicarakan soal kejadian alam di sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini menumbuhkan pemikiran filosofis dalam Islam.
7.    Ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan golongan miskin, dan ini membawa pada ajaran-ajaran sosiologis dalam Islam.
8.    Ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabi-nabi dan umat mereka sebelum Nabi Muhammad SAW, dan umat-umat lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka. Dari ayat-ayat ini dapat diambil pelajaran.
9.    Ayat-yat mengenai hal-hal lainnya.
Dari pembagian di atas, menurut Harun Nasution, dapat dilihat betapa kurang benarnya anggapan bahwa Al-Qur’an mengandung segala-galanya. Yang berkaitan dengan hukum, misalnya, hanya terdapat 230 ayat saja dari seluruh ayat Al-Qur’an. Tentu jumlah ini tidaklah cukup untuk mengatur hidup kemasyarakatan yang kompleks ini. Dalam soal ibadah hanya terdapat kira-kira 140 ayat. Sudah barang tentu jumlah ini tidak dapat menjelaskan segala hal yang bersangkutan dengan ibadah. Umpamanya masalah shalat, tidak dengan jelas dan tegas disebut dalam Qur’an harus dilaksanakan lima kali sehari, dan tidak pula disebut rakaat, waktu, bacaan, dan lain-lain. Demikian juga denga soal ibadah lainnya. Perincian mengenai shalat, puasa, zakat dan lain-lain, diketahui bukan dari Al-Qur’an tetapi dari hadits. Demikian juga dalam soal keimanan, umpamanya mengenai ucapan dua kalimat syahadat, tidak disebut dengan jelas dan tegas dalam Al-Qur’an. Tapi dijelaskan oleh hadits.
Kalau dalam hal-hal yang dasar serupa dengan ini saja tidak semua dijelaskan dalam Al-Qur’an, apalagi dalam persoalan yang bukan dasar, yang tidak ada huibungannya dengan keimanan, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ideologi-ideologi seperti sosialisme, sistem-sistem pemerintahan seperti demokrasi dan lain-lain. Pandangan bahwa al-Qur’an mengandung segala-galanya sehingga apa saja yang terjadi di sekeliling kita dicari dan dicocok-cocokkan dengan ayat Qur’an, timbul akibat dari salah interpretasi terhadap ayat-ayat seperti berikut ini:
“… Dan Kami turunkan kitab ini padamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar genbira bagi orang-orang yang berserah diri”
(QS. An-Nahl [16]: 89)
Menurut banyak ulama tafsir, di antaranya Al-Zamakhsyari, yang dimaksud dengan “segala sesuatu” pada ayat di atas bukanlah berarti segala apa saja, tetapi segala sesuatu mengenai agama Islam, terutama tentang apa yang haram dan yang halal. Rasyid Ridlo menerangkan bahwa paham yang demikian (segala sesuatu terdapat dalam Qur’an) tidak pernah dianut para sahabat, tabiin dan ulama klasik, karena pendapat yang serupa iu tidak dapat diterima akal yang waras.
Al-Qur’an sebenarnya bukanlah ensiklopedia yang memuat apa saja yang kita cari. Ia seperti dapat dilihat pada kandungannya merupakan buku agama yang dikirimkan Tuhan kepada masyarakat manusia untuk menjadi petunjuk (hudan) bagi mereka di dunia dan akhirat. Kalau disebut di dalamnya hal-hal yang ada hubungannya dengan fenomena alam, sejarah dan lain-lain, itu hanya sekilas sebagai argumen yang harus dipikirkan dan teladan yang harus dipahami oleh manusia.

UPAYA MEMAHAMI AL-QUR’AN
Dalam usaha memahami Al-Quran, ulama-ulama Islam baik dalam bidang teologi dan hukum, maupun tasawuf dan filsafat- membagi umat Islam ke dalam dua golongan besar, yakni awam dan khawas (intelejensia). Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, kaum awam memahami misi Al-Qur’an sesuai dengan tigkatan kecerdasan yang ada pada mereka, sedang kaum khawas memahaminya menurut pengetahuan dan ketajaman akal yang mereka miliki. Kaum sufi dan filosof mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an mengandung dua arti: arti lahir (tersurat) dan arti batin (tersirat; ). Kaum khawas mencari arti tersirat sedangkan kaum awam menerima arti yang tersurat.
Surga umpamanya, oleh ayat-ayat Qur’an digambarkan mempunyai bentuk jasmani. Yaitu tempat yang di dalamnya terdapat makanan yang lezat, bidadari yang cantik, perhiasan yang indah dan sebagainya. Bagi kaum awam, surga adalah seperti apa yang tersurat itu. Bagi kaum sufi dan filosof, tidaklah demikian. Bagi mereka kesenangan jasmani tidak ada artinya. Mereka lebih mengutamakan kesenangan intelektual dan ruhaniah (batiniah), sehingga surga bagi mereka adalah seperti yang terkandung dalam makna tersiratnya, yakni kesenangan batiniah yang terletak di balik kesenangan mahligai, makanan, bidadari, dan perhiasan yang digambarkan tersebut.
Dalam konteks inilah, kandungan Al-Qur’an seharusnya dipahami, bahwa teks Arab dari Al-Qur’an dan bukan isi teks itu yang merupakan wahyu, yang dimungkinkan mempunyai interpretasi lebih dari satu. Apalagi bila diingat bahwa, Al-Qur’an bukanlah buku ensiklopedi yang memuat apa saja secara terperinci. Sehingga diperlukan adanya penafsiran termasuk di dalamnya adalah penterjemahan. Sebenarnya kata “terjemahan” bersifat problematik. Karena tidak mungkin manusia yang nisbi (serba relatif) mampu menterjemahkan firman Tuhan yang Muthlak. Maka istilah terjemahan itu tak lain adalah merupakan interpretasi (penafsiran) sang penterjemah terhadap kandungan Al-Qur’an.
Terjemahan dapat dipakai untuk memahami isi Al-Qur’an secara umum saja, yakni tidak begitu mendalam. Artinya untuk dipakai sebagai pedoman hidup secara umum terjemahan bisa dianggap memadai. Tetapi untuk memperoleh pengertian dan dan pemahaman yang mendalam, apalagi untuk mengambil ketentuan hukum dan dasar-dasar (norma) keimanan, orang harus pergi ke teks aslinya dalam bahasa Arab. Ini dasarkan pada pertimbangan bahwa:
1.      Bahasa Arab mempunyai susunan kata dan tata bahasa sendiri yang banyak berbeda dengan susunan kata dan tata bahasa dari bahasa-bahasa lainnya.
2.      Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan dalam gaya ringkas tanpa banyak keterangan apalagi rincian, dan oleh sebab itu muncul interpretasi-interpretasi yang berlainan.
3.      Dalam linguistik, diakui bahwa kata terjemahan tidak memberi arti yang identik dengan arti yang dikandung dalam bahasa aslinya. Tiap bahasa menggambarkan filsafat, pandangan hidup dan tradisinya sendiri.
Oleh sebab itu, terjemahan tidak memberikan arti yang sebenarnya dari kandungan Al-Qur’an seperti yang terdapat dalam bahasa aslinya. Terjemahan hanya memberikan salah satu alternatif dari interpretasi-interpretasi (penafsiran) itu41. Usaha memahami Al-Qur’an sebagai sumber norma dan hukum Islam melalui penafsiran sebenarnya telah lama dimulai. Quraish Shihab mencatat sejak masa Rasulullah, Sahabat dan permulaan Tabiin sebagai periode pertama. Pada periode ini tafsir belum dalam bentuk tertulis. Tetapi masih tersebar dalam secara lisan.
          Periode kedua, bermula dari kodifikasi hadits, tepatnya pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz (99-101 H) dari Daulah Umawiyah. Pada periode ini penulisan tafsir masih tergabung dengan penulisan hadits. Metodologinya masih menggunakan metode bi al-Ma’tsur (periwayatan).
          Periode ketiga, tafsir Qur’an sudah ditulis (terkodifiksikan) dalam kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri. Ini dimulai dengan Al-Farra (207H) yang menulis kitab tafsir, Maani Al-Qur’an[10]. Kegiatan menafsirkan Al-Qur’an ini mengambil metodologi yang senantiasa terus berkembang. Pertama, Tafsir bi al-Ma’tsur (periwayatan). Dalam menafsirkan Al-Qur’an biasanya tafsir ini mengembalikan dan menggabungkan tiga sumber penafsiran,  yakni  Rasulullah,  Sahabat dan Tabiin, yang  disebarkan  melalui  jalan periwayatan dan kebahasaan.
Kedua, Tafsir bi ar-Ra`yi (penalaran). Dalam tafsir ini dikenal ada 4 corak metode:
1.      Metode Tahlily. Di sini Al-Qur’an ditafsirkan dari segala segi (kosakata, asbab an-Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), munasabat al-Ayat wa as-Suwar (keterkaitan atau hubungan antar ayat dan antar surat dan lain-lain) dengan memperhatikan runtutan ayatnya sebagaimana dalam mushhaf.
2.      Metode Ijmaly.
3.      Metode Muqaran (perbandingan).
4.      Metode Maudlui (tematik). Di sini ayat-ayat dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan (topik) tertentu dihimpun, kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh43.
5.      Sedangkan corak penafsirannya, dikenal ada banyak sekali. Diantaranya adalah: 1. Corak sastra-bahasa. Tafsir ini lebih menekankan pada keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an dalam bidang kesusasteraan dan kebahasaan; 2. Corak filsafat dan teologi. Sebagai akibat dari terjemahan kitab-kitab filsafat dan masuknya penganut agama lain; 3. Corak penafsiran ilmiah; 4. Corak fiqih atau hukum; 5. Corak tashawuf atau mistisme Islam; 6. Corak sastra-budaya kemasyarakatan. Lebih menekankan pada petunjuk-petujuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta untuk menanggulanginya berdasarkan petunjuk-petunjuk itu dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.

SUMBER NILAI ISLAM
Islam sebagai agama samawi yang dijamin akan menyelamatkan ummat manusia yang beragamakan islam (muslim) dan melaksanakan (mengamalkan) ajarannya. Sebagai agama samawi yakni agama yang berasalkan dari Rabbani, maka sebaagai sumbernya berasal dari Rabbani itu merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Sebagai ilustrasi penulis kemukakan sebuah dialog antara Rosulullah SAW sebgai kepala negara sekaligus sebagai Rosul, dengan Mu’adz bin jabal ketiaka Mu’adz akan berangkat posnya sebagai gubernur di Yaman, sebagai berikut :
Nabi               : dengan apakah engkau melaksanakan hukum ?
Mu’adz          : dengan kitab Allah (Al-Quran) !
Nabi               : kalau engkau tidak mendapatkannya disana ?
Mu’adz          : dengan sunnah Rasul !
Nabi               : kalau engkau tidak mendapatinya disana ?
Mu’adz          : berijtihad dengan akal saya, dan saya tidak akan putus asa !
Nabi               : segala puji bagi allah yang telah berkenan memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya yang direstui-Nya. (Sunah Abu Daud, 23:11)
Dengan demikian norma dan nilai dalam islam adalah :
1.      Sumber pokok
a.      Al-Quran
b.      As-Sunnah
2.      Sumber tambahan I’jtihad

AL-QURAN SEBAGAI AJARAN ISLAM YANG PERTAMA
Secara etimologi Al-Quran berasal dari kata qara’a yaqra’u, qiraa’aan, atau Qur’an yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara termilogi (syariat), alquran adalah kalam allah ta’ala yang diturunkan kepada rasul dan penutup para nabi-Nya, muhammad SAW diawali dengan surat Al-fatihah  dan diakhir dengan surat An-nas. Dan menurut para ulama klasik, Al-quran sumber agama (juga ajaran) islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) allah, sama benar dengan disampaikan oleh malaikat jibril kepada nabi muhammad SAW sebagai rosul allah sedikit demi sedikit demi seidkit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di mekah kemudian dimadinah.

AL-QURAN SEBAGAI WAHYU
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang berisi tentang alam semesta yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah SWT, bukan karya manusia
1.      Tentang awal kejadian langit dan bumi. Di dalam QS. 21 : 30 Allah menegaskan : “ apakah orang-orang kafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman “.
  1. Tentang pergerakan gunung dan lempengan bumi. QS 27:88 :”Dan kamu melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak sebagaimana geraknya awan”.
  2. QS. 12:4 :“Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet. Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari dan menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.

 

 

PENGKODIFIKASIAN AL-QUR’AN

Al-Qur’an diturunkan dalam jangka waktu 23 tahun, tepatnya 22 tahun, 2 bulan 22 hari, 13 tahun di Mekah, dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah, sebelum hijrah, dinamakan ayat Makiyah, dan yang diturunkan di Madinah disebut ayat Madaniyah. Ayat Makiyah pada umumnya pendek-pendek, dan ayat Madaniyah panjang-panjang. Yang diturunkan di Madinah, ada sebanyak 11/30 (1.456 ayat), sedangkan ayat Makiyah merupakan sebanyak 19/30 dari isi Al-Qur’an (4.780 ayat). Al-Qur’an sudah ditulis sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup, setiap wahyu turun kepadanya Nabi langsung memerintahkan para Sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya dengan hati-hati. Kecuali ditulis, wahyu yang turun itupun segera dihafal oleh kebanyakan para sahabat. Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, Al-Qur’an telah dapat dikumpulkan dalam satu mashaf tersendiri, atas inisiatif Umar bin Khatab, Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menyusun Al-Qur’an yang tertulis pada kepingan-kepingan tulang, batu-batu, kulit dan lain-lain, dengan dibantu oleh beberapa sahabat penghafal Al-Qur’an, antara lain Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan, maka tersusunlah satu mushaf pertama yang utuh. Pada masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan terjadilah penyalinan kembali dan penggandaan, dibuat sebanyak 4 eksemplar dan dibagikan ke Kuffah, Mekah, Basyrah dan Syam (Siria).

 

KELEBIHAN AL-QUR’ANATAS KITAB-KITAB LAINNYA

1.    Dari segi bahasa dan bahasannya, Al-Qur’an mempunyai kehebatan yang tak ada tandingannya di dunia ini, keserasian dan keindahan bahasanya, keseimbangan kata-kata dan kalimatnya, dan keselarasan kata dan maknanya bukan saja memberikan irama tertentu tapi juga menimbulkan keindahan dan kedalaman makna multi dimensi. Kecuali keindahan kata yang bias digali dari kata atau susunannya, pemilihan dan pengulangan kata atau kata seringkali mengandung makna yang sangat dalam dan berarti. Bila kita perhatikan kata yaum (hari) umpamanya, kita akan menemukannya diulang sebanyak 365 kali (satu tahun) dalam bentuk tunggal yaum, dan 30 kali (satu bulan) dalam bentuk jamak, dan kata-kata yang berarti bulan sebanyak 12 kali.
2.    Al-Qur’an terkadang berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang belum terjadi atau terbukti pada waktu turunnya ayat yang bersangkutan, dan kemudian kenyataan fenomena alam membuktikan kebenarannya, seperti kemenangan Romawi setelah kekalahannya. Kecuali itu Al-Qur’an memberitakan masa lalu yang penafsiran konkritnya baru ditemukan secara menakjubkan etelah ayat itu turun. Seperti ditemukannya mumi Fir’aun yang hidup pada zaman Nabi Musa pada abad 19. menurut penyelidikan, Fir’aun tersebut adalah Fir’aun yang tenggelm di laut pada waktu engejar Nabi Musa. Hal ini sangat mengejutkan dan juga mengagumkan, dimana Al-Qur’an menyatakan bahwa : “Allah menyelamatkan tubuh Fir’aun agar menjadi tanda bukti bagi manusia setelahnya.”
3.    Al-Qur’an banyak berbicara tentang alam dan fenomenanya. Informasi yang diberikannya tidak pernah kehabisna makna, usang, apalagi bertentangan. Bahkan Al-Qur’an tetap aktual dan secara luar biasa mampu memberikan makna dan inspirasi yang menarik di tengahperkembangan dan kemajuan IPTEK.
4.    Al-Qur’an diturunkan untuk semua ummat manusia dan bahkan di luar manusia (Jin). Ia tetap berlaku pada sepanjang masa dan tempat.
5.    Naskah yang asli sampai hari ini masih ada dan terpelihara secara suci dari perubahan atau penyelewengan tangan-tangan manusia, tidak seperti kitab suci yang lainnya.
6.    Kandungan Al-Qur’an mencakup pokok-pokok ajaran kitab suci yang lain terutama Injil, Taurat dan Zabur, serta meluruskan kitab-kitab yang sebelumnya dari penyimpangan/perubahan. Dan Al-Qur’an utuh serta menyeluruh.
7.    Di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai sesuatupun yang bertentangan dengan akal atau tidak sesuai dengan kenyataan alamiah atau menyesatkan.

POKOK-POKOK KANDUNGAN DALAM AL-QUR’AN
Pokok-pokok kandungan dalam Al-quran antara lain:
1.    Petunjuk mengenai akidah yang harus diyakini oleh manusia.
2.    Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang harus diikuti manusia dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesama insan.
3.    Petunjuk tentang akhlak.
4.    Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau.
5.    Berita tentang zaman yang akan datang,Yakni zaman kehidupan akhir manusia.
6.    Hukum yang berlaku bagi alam semesta.

KEUTAMAAN AL-QUR’AN DITEGASKAN DALAM SABDA RASULLULLAH
Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain:
1.    Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.
2.    Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR. Turmuzi)
3.    Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
4.    Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
5.    Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).

AL-QURAN MENGANDUNG TIGA KOMPONEN DASAR HUKUM
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
1.    Hukum I’tiqadiah, yaitui hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah atau keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.    Hukum Amaliah, yaitu hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara atau syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.    Hukum Khuluqiah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

 

NAMA-NAMA AL-QUR’AN

          Selain dari alquran disebut juga sebagai berikut :

1.       Al-Furqan yang membedakan (antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dengan yang buruk, haq dengan bathil).
2.       Al-Haqq yang berarti kebenaran Ilahi yang mutlak sempurna.
3.       Al-Hikmah yang berarti hikmah atau kebijaksanaan.
4.       Al-Huda yang berarti petunjuk hidup.
5.       As-Syifa yang berarti penyembuhan ruhani.
6.       Ad-Dzikru yang berarti pengingat.
7.       Al-Kitab yang berarti tulisan atau yang ditulis.

 

ISI POKOK DALAM AL-QUR’AN

Pada garis besarnya Al-Quran memuat :
1.     ’Aqidah
2.    Syari’ah : ”Ibadah dan Muamalah”
3.    Akhlaq
4.    Kisah-kisah lampau
5.    Berita-berita yang akan datang
6.    Pengetahuan-pengetahuan Illahi penting lainnya. Al-Qur’an:
-                     Terdiri dari 114 surah; surah terdiri atas ayat-ayat; terdiri atas 6247 ayat atau 6360 ayat (bila setiap ayat Bismillah pada awal setiap surah kita hitung.
-                     Terdiri atas 30 juz.
-                     Terbagi atas :
a.                Surah-surah Makiyah, yakni surah-surah yang dinuzulkan kepada Nabi Muhammad SAW pada periode ia di Mekah al-Mukaromah, yaitu sejak tahun 13 sebelum hijrah sampai tahun-tahun terakhir menjelang hijrah.
b.                Surah-surah Madaniyah, yakni surah-surah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW pada masa ia di Madinah Al-Munawarah sejak 3 tahun pertama hijrah sampai dengan akhir hayat beliau tahun 11 Hijrah.

FUNGSI AL-QUR’AN
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda) (QS. 2:185). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’anmerupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi. Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat trial and error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur. Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá, bayyinát maupun furqán secara mendalam, maka Al-Qur’anperlu dipelajari bagian demi bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106), memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.

KEUTAMAAN AL-QUR’AN DITEGASKAN DALAM SABDA RASULLULLAH
   Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain:
  1. Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya
  2. Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR. Turmuzi)
  3. Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
  4. Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
  5. Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).

KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Al-Qur’an tak lain adalah serangkaian firman Allah Swt yang ditransmisi kepada umat manusia melalui utusannya, yaitu Muhammad SAW. Selain dapat dibaca dan berimplikasi pahala bagi yang membacanya, Al-Qur’an juga menjadi panduan keseharian bagi kehidupan ummat manusia, setiap manusia yang meyakini Al-Qur’an dan menjalankan ketentuan-ketentuannya niscaya hidup mereka akan sejahtera. Islam berasal dari kata “aslama” yang bermakna tunduk dan patuh, jadi islam berarti tunduk dan patuh terhadap perintah perintah allah, dalam Al-Qur’an semua agama dapatlah disebut islam jika mereka berpedoman yakni beriman kepada tuhan, hari akhir dan berbuat baik, Al-islam manusia kepada tuhan sudah menjadi tuntutan sejak diciptakanya manusia. Menurut al-Qur’an pengembangan ilmu banyak memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk menciptakan kemaslahatan bagi alam semesta dan umat manusia, ilmu juga tidak boleh digunakan untuk tujuan yang dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi baik kerusakan alam, lingkungan, sosial maupun merusak manusia secara individu. Oleh karena itu, pengembangan ilmu selalu terikat dengan nilai nilai kebaikan, di dalam al-Qur’an juga tidak dapat menerima pandangan sebagai filosof dan keilmuan sekuler dan memisahkan ilmu ilmu dari nilai nilai agama, moral dan etika. Menurut Al-Qur’an pengetahuan dapat diperoleh manusia dari tiga sumber, yaitu alam semesta dengan menggunakan semua realitas yang ada didunia sebagai sumber ilmu, kemudian akal pikiran manusia itu sendiri yang digunakan untuk pengetahuan rasional dan pengetahuan fenomenologis, dan yang terakhir sumber pengetahuan yang berasal dari wahyu allah swt.pengetahuan yang bersumberkan dari wahyu allah swt juga lebih tinggi dari sekedar instuisi  yang diperoleh para filosofi sehingga kebenaran wahyu allah swt bersifat mutlak. Dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang alam dan fenomenanya sebanyak 750 ayat, ayat ayat ini memerintahkan manusia untuk meneliti dan mempelajari alam semesta, tujuanya untuk mengantarkan manusia agar menyadari bahwa dibalik alam tersembunyi banyak hal yang bisa menjadi sumber belajar bagi manusia.  Alam semesta juga pada dasarnya merupakan suatu tatanan yang bekerja dengan hukum serta potensi yang di anugrahkan oleh alllaah swt, di dalam ayat ayat al-Qur’an juga memberikan dorongan dorongan kepada manusia untuk berjalan dimuka bumi, serta mengamati dan memikirkan tanda tanda kekuasaan allah swt di alam semesta. Oleh karena itu, manusia memanglah harus belajar untuk mencapai suatu sarana bagi manusia dengan mewujudkan dan melestarikan eksistensi dirinya untuk menuju proses belajar mengajar maupun sumber belajar mengajar tersebut yaitu sumber insani yang diwakili oleh seorang pendidik yang memberi informasi kepada subjek didik ataupun sumber non-insani yang meliputi bahan bahan kajian seperti buku.
Dengan mempelajari al-Qur’an juga dapat meningkatkan pengetahuan dan penelitian yang menyebkan berbagai tumbuhnya cabang ilmu pengetahuan dan mengungkapkan berbagai aspek dari jagad raya, namun semua ilmu pengetahuan itu disatukan dengan sempurna melalui pengamatan terhadap alam semesta yang dikendalikan dan di ciptakan oleh Allah swt. Manusia juga dapat belajar banyak tentang alam semesta, karena alam semesta merupakan laboratorium terbesar yang selalu terbuka bagi manusia yang mau dan bersemangat dalam berfikir, sehingga melalui perenungan dan pengamatan terhadap alam semesta ini manusia akan mampu  hidup dengan ajaran ajaran allah swt. 

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris, Hadits Nabi Sebagai Sumber Ajaran Islam, Institut Agama Islam Negeri, Jurnal Institut Agama Islam (IAIN) Mataram, Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Abu Yasid, Hubungan Simbiotik Al-Qur’an dan Al-Hadits Dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum, Jurnal Tsaqafah, Jawa Timur : Pascasarjana IAI Ibrahimy Situbondo Jawa Timur, Vol. 7, No. 1, April 2011

Ajat Sudrajat, Al-qur’an dalam Perspektif Budaya, Humanika Ilmu Sejarah-FISE-UNY, Vol. 9, No. 1, Maret 2009

Akmansyah, Al-Qur’an dan Al-sunnah sebagai Dasar Ideal Pendidikan Islam, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 8, No. 2, Agustus 2015
Al-Bayan, Vol. 21, No. 30, 2014
Ani Umi maslahah, Al-Qur’an Tafsir dan Ta’wil dalam Perspektif Sayyid Abu Al-A’laal-Maududi, Hermeneutik STIQAN-NUUR Ngrukem Yogyakarta Indonesia, Vol. 9, No. 1, 2015
Astuti, Diskursus tentang Pluralitas Penafsiran Al-Qur’an, Hermeunetik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia, Vol. 8, No. 1, Juni 2014

As’aril Muhajir, Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Al,Tahrir, Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Tulungagung, Vol. 11, No. 2, November 2011

Baso Hasyim, Islam dan Ilmu Pengetahuan (Pengaruh Temuan Sains Terhadap Perubahan Islam), Jurnal Dakhwah Tabligh STAIN Palopo, Vol. 14 , No. 1 Juni 2013, Hl.129MATARAM, Vol. 12, No. 1, Juni 2013

Ending Solehudin, Filsafat Ilmu Menurut Al-Qur’an, Islamica, Vol. 6, No, 2, Maret 2012
Enoh, Konsep Baik (Kebaiakan) dan Buruk (Keburukan) dalam Al-Qur’an,  Analisis Konseptual Terhadap Ayat Ayat Al-Qur’an yang Bertema Kebaiakan dan Keburukan, Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah Unisba, Vol. XXIII, No. 1, 2007

Erwin Jusuf Thaib, Al-Qur’an dan As-sunnah Sebagai Sumber Inspirasi Etos Kerja Islami, Jurnal Dakwah Tablig, Gorontalo : IAIN Sultan Amai Gorontalo, Vol. 15, No. 1, Juni 2014
Erwin Jusuf Thaib Jurnal Dakhwah Tabligh Fakultas Ushulludin dan Dakhwah  IAIN Sultan Amai Gorontalo, Vol. 15, No. 1, Juni 2014

Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Batanghari Jambi, Jambi : Universitas Batanghari Jambi, Vol. 17, No. 2, 2017

Eva Iryani, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 17 No. 3, 2017

Ghazali Munir, Al-Qur’an dan Realitas Sejarah Umat Manusia, Jurnal Ar-Taqaddum, Vol. 4, No. 1, Juli 2012

Heru Suparman, ALQUDS:Jurnal Studi AlQur’an dan Hadits, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, Vol. 1, No. 2, 2017

Jaya, Islam Dan Kebudayaan Islam, Jurnal At-Ta’lim, Bandung, Vol. 4 No. 2, 2013

Khamdani Khairul Fikri, Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an, Tasamuh Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram, Vol. 12, No. 2, Juni 2015

Ling Misbahuddin, Dimensi Keilmuan Dalam Al-Qur’an, Jurnal at-taqaddum, Semarang : UIN Walisongo Semarang, Vol. 6, No. 2, Nopember 2004

Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam dalam Al-Qur’an, Jurnal Al-Ulum STAIN Manado, Vol. 11 No. 2, Desember 2011




[1]Fazlur Rahman, 1993, Metode Dan Alternatif Neomodernisme Islam, (terj. Taufiq Adnan Amal), Bandung: Mizan, hal. 95. lihat juga Maulana Muhammad Ali, 1980, Islamologi (Dinul Islam), Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, hal. 2. Ia mengartikan `islam dengan “selamat, sentosa dan damai”

[2] Nurcholis Madjid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, hal. 426.

[3] Seperti yang dikutip oleh Abdullah Ali dkk, 1994, Studi Islam I, Surakarta: PSIK-UMS, hal.39 dari Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: PP. Muhammadiyah

[4] Lihat Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 64-65. Juga Nasruddin Razak, Op.Cit., hal. 55. Dan juga Huston Smith, 1985, Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 254.

[5] Subhi As-Shalih, 1991, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur`an (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, hal.9

[6] Abd al-Wahhab al-Khallaf, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-`Ala al-Indonesia li al-Dawah al-Islamiyah, cet.IX, hal. 23.

[7] As-Suyuti, Op.Cit., hal.42-44.

[8] Lebih jelasnya baca Zainal Abidin, 1992, Seluk-Beluk Al-Qur`an, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 33- 36.

[9] Al-Qattan, Op.Cit., hal. 20-24. Bandingkan dengan Imam as-Suyuti, 1996, Apa Itu Al-Qur`an, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 15-16
[10] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, hal. 73.


Komentar